SALAH KERETA, NYARIS MEMBEKU DI SLEZTHAL
Traunkirchen kami tinggalkan begitu kereta ke Hallstatt tiba. Saya tak terlalu paham, indahnya Hallstatt apa, tapi Ethile ngotot sekali kalau saya harus ke sana. “It’s one of the most beautiful spots in Europe, in the world!” katanya meyakinkan dan ….
… Ethile benar!
Kota di tepi danau itu mampu membuat saya terperangah karena perpaduan nuansa gothik, rustik, dan mistik yang ditawarkan (sila lihat parade foto Hallstatt di postingan saya sebelumnya). Awalnya saya sedikit kesal karena salah jalan mengakibatkan saya tak bisa mengambil gambar dengan latar gereja di kejauhan yang menjadi spot populer karena tercetak di kartu pos Austria. Keasyikan mengetik di kapal menjadi alasan manjur Ethile meninggalkan saya. Di kapal, beberapa turis dari China dan Prancis seakan-akan disetting Ethile agar mengajak saya berbincang perihal apa yang saya tulis. Ya, Ethile menjalankan tugasnya dengan baik. Saya dapat laptop untuk menulis, bahkan lebih awal—bukan di Lujbljana.
Teriakan petugas kapal membuat saya harus minggir dan kebingungan ketika rumah-rumah yang menguarkan aroma klasik yang jauh …. menyambut saya dengan tiga pilihan: kanan, tengah, atau kiri. “Pilih dan jelajahilah aku,” pilihan seolah-olah berbisik.”
Saya mengambil jalan aman. Tengah. Dan (berhasil) mendapatkan Hallstatt yang lain, Hallstatt yang riuh dengan mantra-mantra sihir yang meriap-meriap dalam kepala.
Setelah mengucapkan selamat tinggal pada kota kecil tepi danau itu, saya dan Ethile mengambil tempat duduk di pojokan kereta. Ia terus ngoceh tentang Slovenia yang ramah dan murah dan dipenuhi gadis-gadis yang Tuhan ciptakan di hari Minggu. “He created them while being relax on sunny morning sunday,” katanya dengan intonasi diangkuh-angkuhkan.
Oh God, kami menumpangi gerbong VIP dan Ethile tampak bangga sekali dengan hasil kerjanya. Dia asyik mencemooh saya yang membuka kresek dan mengeluarkan bekal: nasi-rendang-sambal tempe ketika kereta memasuki Al Muster dan daerah-daerah lainnya yang kami nikmati dari balik kaca kereta. Saya begitu norak mendapati jejak salju di mana-mana hingga Ethile dengan penuh kemenangan meneriaki saya, “Orang kampung, jauhkan hapemu! Makan aja. Tar keselek. Biar gue yang mengambil gambar-gambar yang lu inginin!”
Saya baru saja membereskan kotak makan siang dan mengkhidmati draf baru saya di laptop ketika kereta berhenti di Bischofshofen—ini pemberhentian kesekian dalam perjalanan ini—dan Ethile yang memandang board di luar mengerutkan keningnya dan mendadak bangkit. “Bereskan semuanya, Benn! Sorry!”
“Why?” Kebingungan dan kecemasan menguar dari teriakan saya.
“Wrong train, I think!” ujarnya seraya mengangkat koper saya dari rangka penyimpanan barang di tengah gerbong.
“Ethile!!!!” Saya tak punya pilihan. Kereta hanya berhenti lima menit tiap pemberhentian. Saya harus bergegas. Turun dan pindah ke kereta di sebelah.
Di dalam kereta, saya belum mau duduk meski kereta sudah berangkat. Seorang negro yang duduk tak jauh dari saya, menawarkan tempat di sebahnya untuk saya tempati, tapi saya bergeming. Ethile malah mengambil tempat duduk di seberangnya dan memandang saya dengan penuh rasa iba. Sarkastik! Dasar fasilitator tak punya rasa iba!
“Come, Benn!” Dia bangkit, mengampiri saya, berlagak seakan hendak memeluk saya sebelum kemudian tertawa. “Perfect!” Lalu tertawa lagi dan mencangking koper saya, membawanya ke rak penyimpanan barang. Dia mengambil posisi agak membungkuk dan salah satu tangannya mengarah ke tempat duduk di dekat jendela. “Your majesty, the seat is yours!”
Saya berjalan agak gontai. Duduk bungkam cukup lama. Ethile menyodorkan sebotol springkle, air mineral tawar bersoda. Saya mencangkingnya dan menenggaknya hingga tinggal setengah, sebelum kemudian saya memutuskan terlelap ketika Ethile terus mempromosikan keindahan Lake Bled.
“Saya mau menulis, bukan liburan!” ujar saya sebelum tak ingat apa-apa lagi.
Satu atau dua jam kemudian, saya tak ingat persisnya, Ethile mencium kening saya dengan buru-buru. “Wake up, writer! Hury up!”
Saya mengucek-ucek mata. “Kita sudah sampai, Ethile?”
Ethile mengangguk, tapi saya masih curiga sebab wajahnya agak pucat. “Barang-barangmu sudah dibawa. Ayo cepat. Kereta akan bergerak.”
Di bawah, saya beberapa kali mengucek mata mendapati tulisan “Sletzhal” di platform. “Berapa jauh hotel kita dari Sletzhal, Ethile?”
Ethile mendekati saya, mendekati telinga saya dan berbisik, “Sorry, Benn. I actually dont know, where we are.”
Saya tak bisa berkata apa-apa.
Tak lama kemudian, masinis kereta yang baru berhenti (sepertinya ada pergantian masinis di sini mendekati kami. Sepertinya menjelang keberhentian ini, Ethile sudah berbincang dengan petugas kereta sebelum akhirnya kami harus turun lagi.
Masinis jangkung itu ditemani perempuan tua berwajah teduh berambu keriting yang membuka tab, untuk menunjukkan kami rute kereta. Saya ikut mendekat. Saya pikir, saya harus ikut serta dalam menentukan “pergerakan” berikutnya. “So, what’s the solution?” tembak saya langsung.
Kedua petugas kereta itu saling pandang. Ethile dan saya menanti.
“Kalian malah menjauhi Ljubljana, sangat jauh,” masinis menjelaskan.
“But you are safe,” tiba-tiba perempuan di sebelahnya menyorongkan kabar gembira. “Sorry, you are probably safe.”
“Probably? I love ‘probably’!” Ethile nyeletuk. Kedua petugas itu memandang Ethile seperti melihat orang yang sedang mabuk.
“Semua kereta, karena ada kesalahan teknis, telat 45 menit. Jadi kalian tunggu di sini. Di platform ini.”
“Lalu kereta itu nanti akan langsung membawa kami ke Ljubljana?” tanya saya tak sabaran.
“Of course not!” ujar perempuan itu setengah berteriak. “Tapi kalian tak perlu membeli tiket baru, sebab tiket yang kalian pegang saat ini adalah jenis ‘one day-ticket’, bukan ‘one-way’.”
“Tapi …” masinis itu melihat ke arah saya yang mungkin menurutnya paling pucat wajahnya atau … paling ‘waras’ untuk dia ajak bicara ketimbang Ethile yang cengegesan.
“Kalian harus kembali ke Bischofhofen!”
“Are you sure?”
Mereka berdua serentak mengangguk.
“What does the word “safe” do you mean, Madam?” teriak saya.
“At least, kalian tidak mati membeku di sini.”
“Dari Biscofshofen, naiklah kereta ke Villach,” saran perempuan itu seraya membenarkan letak kecamatanya.
“Apa? Ke Villach?” saya sontak melongok ke Ethile.
“Sumpah, Benn! I dont know this!”
Dan saya tak percaya lagi.
Di sini, di Sletzhal. Kami menunggu untuk sebuah perjalanan yang akan di-restart.
“Benn, promise by God, this is not my conspiration, but …”
“But what?” Kedua bola mata saya membelalak sempurna.
“Kamu tidak akan punya sesuatu yang bisa ditulis kalau tidak begini, bukan?”
Saya diam. Rasanya ingin saya memecahkan kepalanya saat ini juga!
Slezthal makin dingin. Ponsel saya menunjukkan suhu turun jadi 6 derajat, padahal dua puluh menit sebelumnya masih 9 derajat.***
Zagreb, 17 April 2019 pukul 7.35 pagi
NB:
– Untuk menetralisir cerita yang sudah tegang, saya tampilkan foto-foto ketika semuanya masih baik-baik saja, ketika semuanya belum berantakan 😂
– Kali ini saya memutuskan tidak memposting foto pemandangan. Skip dulu aja.
– Selamat mencoblos bagi kawan-kawan di Tanah Air!