Apa-apa Saja yang Berhasil Kupungut Kembali dalam Satu Rangkaian Perjalanan
Sebuah catatan perjalanan oleh Yuhesti Mora
Apa yang paling bisa gagal membahagiakan kita di dunia ini?
Aku yakin segera setelah pertanyaan itu terlintas di kepala, kita lantas bisa membuat seratus daftar perihal apa-apa saja yang gagal membuat kita bahagia. Dan bisa jadi “kehilangan” ada di daftar lima besar selain soal ini itu yang juga punya potensi luar biasa merisaukan kita semisal menyadari bahwa tidak semua hal yang kita ingini bisa kita gapai, atau berurusan dengan kerumitan-kerumitan birokrasi di negara ini, atau harus melakukan apa-apa yang tidak mau kita lakukan atau yang tersering barangkali… harus berpura-pura bahagia ketika sedang merasa sebaliknya.
Dan jika pertanyaannya diganti, apa yang bisa membahagiakan kita di dunia ini?
Sering kali… teramat sering kita justru butuh waktu yang lama untuk menyadari apa-apa saja yang bisa membuat diri ini bahagia. Mengeluh memang lebih mudah ketimbang bersyukur. Makanya orang-orang butuh perjalanan, butuh hal-hal baru, butuh berjumpa orang-orang baru–keluar dari banalitas keseharian mereka–hanya untuk tahu apa definisi bahagia dan apa-apa saja yang membuat mereka bahagia.
Oh kalau demikian, betapa mahalnya kebahagiaan itu. Apa kebahagiaan tidak lebih sebagai produk atau jasa yang dijajakan di toko-toko, di tempat-tempat wisata, di mal-mal? Bagaimana nasib para yang sedang tidak berkantong sultan?
Apa masih ada kebahagiaan yang murah (jika tidak ada lagi yang gratis di dunia ini)? Apa menjadi bahagia adalah satu-satunya tujuan kita ada di dunia ini?
Sambil memikirkan hal-hal yang demikian, mobil yang kutumpangi berhenti di suatu tempat yang aku tidak tahu di mana setelah bertolak kira-kira setengah jam perjalanan dari titik mula dan aku merasa tidak tertarik untuk ingin tahu apa nama lokasinya. Tiba-tiba aku ingin menikmati saja ketidaktahuanku itu. Sering kali perasaan paling luar biasa di dunia ini adalah justru merasa tidak tahu ketimbang tahu segala hal.
Di tempat pemberhentian mobil yang kutumpangi itu aku melihat dua buah rumah. Saat melihat kedua rumah itu aku menyadari bahwa aku menyukai bentuk atap rumah yang kanan dan menyukai paduan warna rumah yang kiri (makanya aku mengabadikannya dengan kamera ponsel dan kujadikan featured image untuk tulisan ini).
Kedua rumah itu tidaklah sespesial jika kamu melihatnya (aku yakin ketika kutunjukkan foto ini padamu, kau lantas mengernyitkan dahi dan berkomentar apa bagusnya kedua rumah itu?) Dan anehnya karena itulah ia jadi semakin menarik–justru ketika orang lain merasa tidak mengerti apa bagusnya, tetapi aku tahu betapa luar biasanya bentuk atap dan paduan warnanya itu (secara subyektif). Namun tunggu sampai jika ada yang sepakat bahwa itu bagus–persis seperti yang kupikirkan–maka saat itu juga ia hilang pesonanya.
Aku ingat dulu juga pernah merasa tertarik pada satu orang yang justru pada saat ketika ia tidak diinginkan oleh siapapun–pada saat pesonanya tidak terlihat oleh siapapun–tetapi aku melihatnya. Dan itu jadi sesuatu yang spesial karena saat itu hanya aku saja yang bisa sementara orang lain tidak. Itu adalah sebuah perasaan lain yang sama luar biasanya dengan merasa tidak tahu. Namun tunggu sampai orang lain juga bisa melihatnya dan yang terparah malah menginginkannya, pesona itu–anehnya–lantas hilang begitu saja. Ia berhenti jadi sesuatu yang spesial.
Sampai ketika mobil bertolak kembali dari pemberhentian itu dan karenanya kedua rumah itu semakin lama semakin kerdil di kaca spion mobil, aku belum memahami betul perasaan-perasaan macam apa yang berkelindan di kepalaku itu (bukan di hati?) sampai beberapa hari kemudian aku baru bisa memahaminya ketika Ferdy berkata bahwa ia ingin menjadi yang pertama dalam segala hal.
Aku bertanya padanya tentang apa yang ia maksud dengan menjadi yang pertama itu.
Ia lantas berkata bahwa menjadi yang pertama itu bukan berarti menjadi yang nomor satu tetapi menjadi yang pertama dalam melakukan sesuatu. Dan… aku sungguh-sungguh suka kalimat yang diucapkannya itu–entah ia dapatkan darimana. Ia membuatku menyadari bahwa perasaan macam itulah yang berkelindan di kepalaku beberapa hari sebelumnya.
Setelah perjalanan satu hari itu, aku pulang dan baru ingat bahwa renovasi TBM sudah dimulai dan karenanya sebagian ruangan sudah beratapkan langit dan lantai penuh dengan debu-debu reruntuhan, paku, seng dan kayu. Selagi berpikir hendak tidur di mana malam ini aku lantas merasa gagasan tidur beratapkan langit-langit untuk dua tiga hari ke depan tidak buruk pula. Seketika aku mengingat satu kalimat yang menarik dari Bang Benny dalam satu kelasnya bahwa kita butuh konflik. Untuk merasa benar-benar hidup kita butuh ketidakteraturan, ketidakpastian, ketidaknyamanan, dan apa-apa saja yang memberi kejutan dalam keseharian kita yang mulai menjemukan. Dan bahwa definisi perjalanan tidak selalu berada di luar banalitas keseharian namun tetap berada di dalamnya dengan mengubah beberapa variabel–setidaknya mengubah sudut pandang jika tidak bisa mengubah banyak.
Jadi, pada malam pertama aku tidur bersama reruntuhan dan beratapkan langit-langit itu Jenny dan Ranggi mengejutkanku dengan kedatangannya. Aku terkejut bukan karena suara cekikikan mereka yang sengaja dibuat-buat untuk menakuti-nakutiku namun justru karena mereka berdua datang hanya untuk memastikan bagaimana aku tidur dengan kondisi atap dan lantai yang demikian. Aku terkejut bahwa hal-hal yang demikian itu sontak membuat dadaku jadi begitu hangat dan karenanya angin yang berembus saat itu gagal membuatku menggigil sepanjang malam.
Dalam keseharian ada banyak hal-hal serupa sebenarnya. Anak-anak yang tiba-tiba membawakanku bibit bunga misalnya atau mereka yang tiba-tiba berinisiatif membereskan buku-buku yang berserakan atau mengelap debu piala-piala atau ibu yang memastikan apakah aku sudah makan atau belum di suatu sore karena bobotku yang malah kian merosot atau ayah yang bertanya apa air di kamar mandi masih tersedia atau tidak dan ada banyak lagi hal-hal lainnya.
Lalu sepulangnya mereka berdua itu, aku menatap langit (langit dalam arti kata yang sebenarnya). Hal-hal kecil dalam keseharian itu bergantian berlintasan di kepala dan lalu mengalir ke arah jantung dan menyalakan kembali apa-apa saja yang pernah padam di sana. Dan hidup itu barangkali adalah tentang sederetan hal-hal yang kita pikirkan dalam kesunyian itu kan? Jika iya maka ia masih layak diperjuangkan.
Bintang-bintang tak muncul malam itu (mungkin karena asap atau awan). Apakah akan turun hujan malam ini? Kalaupun turun memangnya kenapa? Paling Jenny akan bersorak paling keras mendengar kabarku kuyup di tengah malam–soalnya ia yang paling getol mendoakan turun hujan hanya demi menyaksikan kemalanganku itu–kudengar ia ada di saf paling depan shalat istiqa di lapangan Pemkot kemarin. Sungguh, adik macam apa dia?
Tetapi aku percaya Tuhan Maha Tahu yang terbaik bagi hamba-hambanya. Bahkan andaipun turun hujan malam itu–karena mendengar doa Jenny dan kawan-kawannya itu–adalah sesuatu yang layak disyukuri mengingat sudah beberapa bulan ini air diburu ke mana-mana. Namun kenyataan tidak turunnya hujan di malam itu bisa jadi adalah pesan yang lugas kepada kita semua agar ketika sedang berdoa meminta sesuatu lupakanlah dulu hasrat untuk selfi dan pikiran keduniawian lainnya. Bagaimana bisa berharap doa segera diijabah bila tanpa ketulusan meminta di dalamnya.
Kemudian pada pagi harinya, adalah pertama kalinya dalam hidupku, hal yang kulihat sejak membuka mata ialah segerombolan burung gereja yang sedang melintas (biasanya aku hanya mendengar suara mereka saja). Kenapa baru sekarang? Akhir-akhir ini aku suka sekali menonton channel primitive survival yang karenanya aku pernah merasa ingin sekali berkemah di suatu tempat. Namun aku pikir… aku butuh paling tidak satu orang yang sama gilanya denganku untuk mewujudkan harapan satu itu. Berkemah sendirian pasti akan terlihat aneh. Namun berkemah ramai-ramai juga bukan yang kuinginkan. Makanya aku tidak jua mewujudkan keinginan yang satu itu–karena aku tak jua berjumpa dengan orang yang sama gilanya denganku.
Sampai pada satu malam (malam kedua aku tidur di bawah langit-langit), seseorang mulai masuk dalam kehidupanku dan mengatakan semua hal yang ingin kudengar sejak lama–kegilaan-kegilaan yang sama. Makanya bayangan soal berkemah itu mulai menyala kembali dan menyembul ke permukaan. Mm ya… aku… bisa saja salah di kemudian hari. Namun apakah masa depan (yang belum terjadi) yang lebih penting? Apa coba yang bisa lebih penting dari menikmati hari ini? Kebahagiaan-kebahagiaan macam apa lagilah yang harus dicari sehingga harus melalaikan perasaan yang satu itu? Apa lagilah yang harus diburu di dunia ini? Toh, setidaknya untuk sekarang karena dialah tulisan ini tidak jadi berakhir sedih–seperti tulisan lain yang biasanya kubuat. Apa itu belum cukup juga untuk bisa disyukuri dengan seikhlas-ikhlasnya?(*)