covid-19 menghancurkan segalanya
Sore ini langit begitu gelap, akan turun hujan lebat, namun terlihat di ujung jalan pria tua mendorong sepedanya dengan penuh semangat, disertai gerobak kecil yang Ia bonceng.
Raut wajahnya terlihat sangat lelah, seperti sudah berpuluh-puluh kilo meter yang Ia lalui.
Setelah dilihat dari dekat ternyata Pak Wani penjual pentol kuah yang biasa mangkal di salah satu sekolah di daerahku. Ia terpaksa berjualan keliling desa hingga desa karena kondisi wabah covid-19 yang sedang merajalela di setiap penjuru negeri. Akibatnya sekolah dianjurkan untuk belajar daring. Padahal pelanggan Pak Wani setiap harinya paling banyak anak sekolah.
Aku memintanya singgah, untuk membeli beberapa porsi pentol kuah Pak Wani. Ketika ia membuka panci dagangannya yang terlihat tumpukan pentol yang masih penuh dan belum satupun laku terjual katanya.
Sambil mengantongi pesananku Ia menyeka keringat dengan handuk yang ia gantungkan di lehernya terlihat sekali sedih diwajahnya. Ia bercerita, katanya setiap desa yang Ia singgahi terlihat sama, karena bberdiri posko-posko penanganan covid-19 di setiap perbatasan desa.
Mengingat memang saat ini covid-19 sedang merajalela dan berhasil membuat dunia terguncang dan ekonomi menurun. Banyak kantor tutup, sekolah tutup, harga jual hasil tani menurun.
Pak Wani bilang bahwa Istrinya sedang sakit, namun takut untuk pergi ke pukesmas akibat covid-19 ini karena banyak sekali orang-orang yang memang sudah mempunyai riwayat sakit namun setelah sampai dipukesmas atau rumah sakit tapi malah di cap dengan gejala-gejala corona, ujarnya.
Entahlah ada apa dengan Negeri ini, setiap pintu masuk desa, orang baru diwajibkan untuk melapor dan bisa berujung larangan masuk. Hal ini semakin membuat heran dengan warga desanya yang merantau di daerah-daerah besar namun diperbolehkan untuk pulang.
Sementara pedagang keliling seperti Pak Wani yang jelas-jelas berasal dari desa tetangga justru malah banyak mendapat penolakan untuk masuk.
Padahal rasa lelah para pedagang keliling seperti Pak Wani ini tidak boleh sia-sia. Ia pulang harus membawa rupiah. Ada anak istri yang menunggunya pulang.
Pak Wani mempunyai dua orang anak, anak pertamanya sudah kelas 2 SMP dan anak keduanya masih berumur 4 tahun. Anak pertamanya juga mengikuti kelas online seperti anak-anak lainnya. Setiap lima hari sekali anaknya meminta uang untuk membeli kuota. Tidak bisa tidak, kalau tidak di isi maka anak akan ketinggalan pelajaran, ujarnya.
Setelah menyelesaikan pesananku Pak Wani bergegas untuk pulang karena hujan akan segera turun, entah berapa uang yang Ia bawa pulang. Sedangkan anaknya harus membeli kuota internet untuk belajar online dan istrinya menunggu untuk membeli beras dan sayur.
Corona ini begitu kejam dan nyata.
Rima Oktapiani lahir di Kampung Jeruk, Kepala Curup, 09 Oktober 1997. Saat ini sedang menempuh pendidikan di STKIP_PGRI Lubuklinggau. Bercita-cita menjadi Guru.