Bila Waktu Luang Itu Melimpah-limpah
Pagi itu, sebagaimana biasa, Papa main ke rumah. Setelah memarkir sepeda motornya di dekat dapur, ia mengambil parang dan menghilang di kebun. Tak sampai tiga puluh menit, ada-ada saja yang ia bawa dari sana. Kadang segenggaman buah leunca muda, pepaya-pepaya yang tua di batang, atau terong-terong yang dengan gembira raya ia bagi-bagikan ke tetangga rumahnya. Tapi, sebelum pulang ia biasanya akan memanggil Bibi untuk minta dibuatkan kopi atau teh. Ia akan bersantai di kursi panjang rotan yang menghadap pekarangan samping kami yang hujan. Lalu biasanya, kalau aku masih sibuk membaca atau menulis di kamar, istriku akan memperingatkanku untuk menemani Papa. Ya, kami biasanya berbincang tentang banyak hal dengan topik yang melompat-lompat. Percakapan semacam itu selalu hangat meski tidak lama.
Tapi, ketika percakapan pagi menjelang siang itu sudah hampir setengah jam, hujan turun. Padahal langit masih biru sebiru-birunya. Tak ada gerimis yang biasanya menjadi aba-aba. Tak ada pula guruh atau kelebatan kilat di kejauhan. Hujan yang aneh: sejuk dan menenangkan dan mendamaikan. Hujan umpama gambaran puisi terkenal almarhum Sapardi Djoko Damono itu alangkah langkanya (untuk tidak mengatakannya “utopia”) sekarang ini dan hari ini ia datang meski bulan sudah bernama Juli. Ah, beruntungnya.
Kami memandang hujan dengan khidmat, seolah-olah terbentang kejadian-kejadian yang sayang kami lewatkan di hadapan. Tak berapa lama kemudian Papa menyalakan lagu-lagu God Bless dari ponselnya. Saya ingin protes tapi ia tampak khusyuk sekali mendengarkan suara serak-serak bertenaganya Ahmad Albar membawakan “Panggung Sandiwara”.
“Papa, lihat!” teriak saya ketika mendapati banyak sekali anak-anak dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, beraktivitas di bawah hujan. Ada yang berjualan kue, ada yang bermain cengkling, ada yang bermain bulutangkis, ada yang berpacaran, ada yang salat, ada yang sedang bercengkerama di halte menunggu bus datang, ada yang … ah, banyak sekali, ramai sekali. Sial! Saya pikir kejadian-kejadian puitis di hadapan hanya mungkin saya reguk dari puisi-puisinya Isbeidy Stiawan ZS atau cerpen-cerpen Yetti A. Ka yang seperti menganggap hujan sebagai bahan cerita paling mampu diperbarui kapan dan di mana saja dan apa saja jenis impresinya. Tapi, kali ini semuanya nyata. Ini bukan puisi. Ini bukan fiksi.
Papa ternyata sudah terlelap dengan “Huma di Atas Bukit” yang bersaing dengan deru hujan sebagai senandung pengantarnya.
Sudahlah. Saya memilih menikmati pemandangan ini sendirian. O o, baru saya sadari kalau orang-orang yang berlakon di bawah hujan itu mulutnya tertutup masker. Ya, wajar saja sebenarnya karena sudah dua tahun ini dunia dibekap korona di sana-sini, tapi … ini di bawah guyuran hujan lho. Apa mereka tidak risih? Kok mereka malah tampak nyaman-nyaman saja ya? Bahkan ada yang makan dan minum dengan langsung menabrakkan makanan dan minuman ke masker. Aku baru sadar kalau masker yang mereka kenakan, meski tidak transparan, bisa ditembus makanan dan minuman. Wah, bagaimana bisa? Kuperhatikan lagi mereka satu-satu. Satu pun tak ada yang melepaskan masker.
“Kamu baru tahu bukan gunanya tes biometrik?”
Suara itu. Aku tak tahu suara itu berasal dari mana. Tapi, rasanya aku pernah mendengarnya. Ya, ingatanku melayang ke ruangan wawancara visa schengen beberapa tahun yang lalu. Setelah serangkaian pemberkasan (ya, pemberkasan, bukan wawancara, sangat tidak mirip wawancara!) dan memberikan cap jempol di beberapa kertas, kedua mataku dipotret. Belakangan aku tahu kalau itu disebut tes biometrik. Belakangan dan belakangan lagi, aku merevisi pengetahuanku, bahwa tes biometrik bukan hanya foto retina, tapi juga meliputi DNA, sidik jari dan telapak tangan, wajah, geometri vena, dan aroma/bau.
Aroma dan bau? Aku bergumam lalu menganga ketika mendapati suara itu berkata lagi, “Karena tak ada yang tak bermasker, kita dituntut peka dengan biometrik retina dan penciuman.”
Ah, apa-apaan ini.
“Bagaimana kau mengisi waktu luangmu?” tanya suara itu lagi.
Kulirik papa. God Bless tidak bernyanyi lagi. Mungkin ponselnya habis baterai. Atau Ahmad Albar sudah capek. Papa malah mendengkur.
“Kamu hanya akan menunggu hujan turun dan memandanginya seperti ini?”
Aku menolak vonis itu.
“Kau kini tahu, bukan, bahwa hujan bukanlah sekedar hujan, sebagaimana awan hitam yang tidak hanya menyerap uap lautan, tapi juga berbagai residu kehidupan?”
Aku ingin protes. Berbelit-belit sekali bahasanya. Tapi, lidahku kelu.
“Apa yang kausaksikan di bawah hujan saat ini adalah apa yang terjadi kemarin atau beberapa saat sebelum awan hitam pecah. Peristiwa demi peristiwa yang mungkin mengherankan bagimu, tapi sebenarnya tidak, sebab hujan, sebagaimana sastra, mengandung banyak mimesis.”
“Katakan saja, apa poinmu?” aku geram. Aku malas diajak berputar-putar.
“Sudah kukatakan,” katanya pongah. “Kalau kau mendapatkan banyak waktu luang, apa yang akan kaulakukan?”
Aku memikirkan sejumlah opsi. Tumpukan buku-buku yang dibaca dan film-film di Netflix yang belum kutonton menawarkan diri. Aku masih memikirkan lagi. Mengeruk stok opsi yang lain. Kali ini materi kelas penyuntingan novel yang belum kukerjakan dan revisi materi Story by 5 yang juga belum kujamah melambai-lambai ke arahku. Ah.
“Kau sudah punya jawaban?”
Azan Subuh berkumandang. Terdengar suara daun pintu dibuka. Istriku menyalakan lampu dan duduk di tepi dipan. “Enak tidurnya, Yah?” ia membenarkan posisi maskernya.
Aku mengucek-ngucek mata lalu bilang kalau malam tadi baru bisa lelap sekitar pukul setengah dua. “Padahal malam tadi sangat dingin karena hujan lebat,” rutukku. “Di luar banjir?”
“Yah?” kata istriku cepat. “Ada keluhan lain, Yah?”
Aku bangkit dan meraih masker. “Semuanya baik, Bun,” kataku, lalu meraih botol minyak angin di dipan. “kecuali penciuman Ayah yang belum balik.”
“Bunda masih sesak napas?”
tanyaku lirih. Aku sangat tidak menginginkan anggukan darinya.
“Sudah nggak,” jawabnya.
Oh, syukurlah.
“Anak-anak hamdalah tidak ada yang panas atau batuk.”
Aku menghela napas lega.
“Barusan Mak nelpon,” suaranya melemah, “Papa masih demam dan penciumannya belum balik.”
“Tapi Papa bisa makan?”
“Seperti Ayah, indera perasanya masih normal. Hanya sedikit lebih sensitif dengan pedas dan asin.”
“Ayo Subuh,” kataku begitu mendengar ikamah dari toa masjid.
Dalam doa aku teringat pertanyaan semesta malam tadi dan menganggap sakit saat ini adalah waktu luang yang Dia berikan. Aku malu dengan semua opsi yang meriap-riap di kepala. Penulis macam apa aku ini—tidak peka terhadap tanda-tanda alam?! Tentu saja aku akan tetap membaca buku dan menonton film dan mengoreksi materi kelas menulisku, tapi … . Ah, aku tiba-tiba teringat Ramadan dua bulan lalu, di mana waktu luangku adalah mengaji, mengaji, dan mengaji. Belum pernah aku mengaji seintens Ramadan kemarin. Dan, belum pernah pula aku didorong untuk mengulangi semua itu, kecuali dalam keluangan dan kelapangan yang diberi-Nya, seperti saat ini.
Allah, dengan semua ketakberdayaan ini, kepada-Mu kami memohon kesembuhan.*
Lubuklinggau, 7 Juli 2021