Antara Harapan dan Kebangkitan
Karya: Imelda Oktaria
“Ghea Ibu ingin kamu mengikuti kursus musik minggu depan! Ibu ingin kamu belajar bermain piano,” pinta sang ibu.
“Tapi Bu, minggu depan aku sudah ada janji untuk bermain bersama teman-temanku,” ucap Ghea.
“Semua anak teman Ibu sudah bisa bermain piano Ghea. Ibu ingin anak Ibu harus sempurna tidak ada yang boleh mengalahkan anak Ibu,” ucap Ibu yang berusaha untuk tidak membentak anak semata wayangnya ini.
“Ghea sudah muak Bu! MUAK! Ghea selalu harus nurutin keinginan Ibu, harus bisa ini … itu yang bahkan tidak Ghea suka,” bentak Ghea sambil bercucuran air mata.
“Kau tahu, Ghea, keluarga kita memiliki standar yang tinggi. Kita harus mempertahankan citra yang sempurna di mata orang lain, maafin Ibu ya sayang,” ucap Ibu sambil tersenyum tipis serta mengelus lembut rambut Ghea, ia memaklumi sikap Ghea yang menurutnya masih kekanakan.
“Sekali saja Bu! Sekali saja aku ingin melakukan sesuatu yang benar-benar aku suka. Aku ingin melakukan sesuatu yang aku sukai. Aku capek Bu! Capek …” ucap Ghea dengan tatapan kecewa serta air mata yang mengalir. Ia amat sangat menginginkan kebebasan.
Ibunya mencoba memeluk Ghea namun Ghea tepis dan langsung berlari menuju ke kamarnya. Ayahnya hanya melihat pertengkaran seorang ibu dan anak tanpa berniat untuk melerai, sang ayah memang memiliki karakter yang cuek dengan sekitar.
“Mengapa mereka selalu ingin aku terlihat sempurna di mata orang lain? Mengapa aku tidak bisa hanya menjadi diriku sendiri?” tanya Ghea sambil menangis tersedu-sedu.
Ghea adalah seorang anak emas di keluarganya, namun hidupnya seakan selalu dalam tekanan yang tak terduga. Meskipun dihargai karena keberhasilannya, ia merasa terkekang oleh ekspektasi keluarganya yang ingin dia sempurna dalam segala hal.
Saat usia 21 tahun, Ghea merasa terjebak dalam peran yang ditetapkan baginya, ia menginginkan kebebasan yang begitu dia impikan.
“Apakah aku tidak berhak mendapatkan sedikit kebebasan?” tanya Ghea dalam hati dengan wajah yang berkerut seribu.
Malam itu, Ghea duduk sendirian di kamarnya. Dia menatap langit-langit, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya.
“Apakah aku harus coba memberontak kali ini?” ragu Ghea.
Mengikuti dorongan hatinya, Ghea memutuskan untuk memberontak, mencoba mengejar kebebasan seperti remaja pada umumnya. Namun, harapannya bertabrakan dengan kenyataan pahit. Keluarga yang dulu mendukungnya, kini melihatnya dengan kekecewaan dan bahkan kebencian. Mereka tak bisa menerima perubahan Ghea.
Seiring berjalannya waktu, takdir membuat Ghea tersadar akan pentingnya keluarga, meskipun kadang kaku dan menyulitkannya. Dalam perjalanan pahitnya, dia belajar bahwa membangkang tak selalu membawa kebahagiaan. Kehidupan yang ia idamkan ternyata tak semudah yang dibayangkan.
Namun, dari apa yang sudah Ghea alami selama ini, Ghea menemukan kekuatan baru. Dia belajar menerima dirinya apa adanya, serta memahami bahwa keluarga adalah pondasi yang tak ternilai. Dengan tekad dan kebijaksanaannya, Ghea memperbaiki hubungannya dengan keluarga, mengubah konflik menjadi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
“Ayah, Ibu, aku minta maaf. Aku ingin kita menemukan jalan tengah. Aku ingin menjadi diri sendiri tapi tetap menghargai harapan kalian,” ucap Ghea yang sangat menyesali perbuatannya selama ini karena sudah mengecewakan keluarganya.
“Ghea, kami juga minta maaf. Kami seharusnya lebih memahami perasaanmu,” ucap Ayah.
Mereka juga menyesali perbuatan mereka yang terlalu menuntut Ghea untuk sempurna. Ibu hanya bisa menangis dan mereka saling berpelukan satu sama lain.
Melalui hal yang telah dihadapi, Ghea menemukan keseimbangan antara harapan yang dipegang oleh keluarganya dan kebebasan yang dia impikan. Dia menemukan bahwa menjadi dirinya sendiri adalah bentuk kebebasan yang paling hakiki, bahkan di tengah-tengah tuntutan keluarga yang berat.
===
Imelda Oktaria, lahir di Tugumulyo, 26 Oktober 2003. Ia tinggal di Desa Tanah Periuk. Perempuan yang suka membaca ini sangat ingin membuat cerita sendiri dan memotivasinya untuk terus belajar.