Rhea yang Tak Terlihat
Karya: Yulia Nirmalasari
Rhea adalah seorang gadis yatim piatu yang kehilangan orang tuanya sejak ia berusia dua tahun. Meskipun cerdas dan baik hati, statusnya sebagai yatim piatu membuatnya sering diremehkan oleh teman-teman sebayanya. Rhea selalu menjadi bahan bully di sekolah.
“Hei, Rhea, apakah kau lupa membawa tasmu hari ini? Atau mungkin kau hanya pura-pura pintar?” salah satu teman sekelasnya mengejek.
Rhea menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia menunduk, memandang tas yang selalu dibawanya dengan hati-hati. Kalimat ejekan itu terus terngiang di kepalanya sepanjang hari. Ia muak dengan segala bentuk bully dan cercaan yang diterimanya.
Setiap malam, Rhea duduk di meja belajarnya, dikelilingi buku-buku tebal dan catatan-catatan yang penuh coretan. Matanya yang lelah tetap menatap penuh tekad pada setiap halaman yang dibacanya. Ia bertekad untuk belajar lebih giat lagi agar dapat menonjolkan prestasinya dan membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar anak yatim piatu.
Pagi hari, Rhea bergegas menuju sekolah dengan senyum penuh harapan. Ia berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti klub debat, tim olahraga, dan kompetisi sains. Di setiap pertemuan, ia menunjukkan semangat yang tak kenal lelah. Namun, setiap kali namanya diumumkan sebagai pemenang penghargaan, komentar sinis tetap mengikuti.
“Rhea menang lagi? Ah, mungkin dia hanya beruntung,” kata salah satu siswa dengan mata menyipit.
Suatu malam, saat Rhea sedang belajar di perpustakaan, ia menemukan buku tua berdebu yang berisi kisah-kisah inspiratif dari tokoh-tokoh dunia. Jari-jarinya membelai lembut sampul buku itu, seolah bisa merasakan perjuangan yang tertulis di dalamnya. Saat ia membaca kisah Marie Curie, matanya berbinar. Kisah perjuangan Curie mengalir dalam benaknya, memberikan semangat baru untuk terus berjuang.
Suatu hari, sekolah mengadakan acara besar yang melibatkan seluruh siswa untuk menampilkan bakat dan proyek mereka. Rhea berdiri di depan cermin di rumahnya, mengenakan seragam sekolah dengan rapi, mengulang-ulang presentasinya dengan penuh keyakinan. Di acara tersebut, ia menampilkan proyek ilmiahnya dengan penuh dedikasi dan kerja keras. Ketika dia berbicara, suaranya mantap, matanya berbinar, dan setiap gerakannya menunjukkan keyakinan yang kuat.
Namun, sebagian besar siswa tampak tidak tertarik, sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Rhea bisa merasakan kekecewaan mengalir di dadanya, tetapi ia terus melanjutkan presentasinya dengan senyum yang tulus. Meskipun tidak semua orang memberikan perhatian, beberapa guru dan teman-teman mulai melihat betapa berbakat dan bersemangatnya Rhea. Setelah acara, seorang guru mendekati Rhea dan memberikan pujian serta dorongan yang tulus.
“Rhea, proyekmu sangat mengesankan. Kau memiliki bakat luar biasa,” kata gurunya dengan senyum hangat.
Mata Rhea berkaca-kaca. Ia merasakan hangatnya pengakuan yang tulus itu menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa meskipun tidak semua orang akan mengakui usahanya, ada beberapa orang yang menghargai dan melihat potensinya. Dengan semangat baru, Rhea memutuskan untuk terus berusaha dan tidak lagi bergantung pada pengakuan orang lain untuk merasa berharga.
Namun, perubahan terbesar terjadi ketika Rhea bergabung dengan sebuah komunitas ilmiah di luar sekolah. Di sana, ia bertemu dengan anak-anak dan remaja dari berbagai latar belakang yang juga memiliki semangat yang sama. Di komunitas ini, Rhea tidak lagi dipandang sebagai yatim piatu, melainkan sebagai seorang ilmuwan muda yang berbakat. Ia menemukan sahabat-sahabat sejati yang mendukung dan menginspirasinya.
Salah satu sahabat barunya, Lintang, adalah seorang penemu muda yang selalu penasaran dan suka bereksperimen. Mereka sering duduk bersama di laboratorium, merancang berbagai eksperimen dengan penuh semangat. Senyuman dan tawa mereka menggema di ruangan itu, menunjukkan kebahagiaan yang tulus dalam mengejar mimpi.
Bersama-sama, mereka mengerjakan proyek besar yang mereka namakan “Proyek Cahaya untuk Dunia”, sebuah inovasi sederhana yang dapat membantu daerah-daerah terpencil mendapatkan akses cahaya dengan biaya murah. Karya mereka menarik perhatian media dan akhirnya membawa mereka ke sebuah kompetisi ilmiah nasional. Di atas panggung, Rhea dan Lintang berdiri dengan bangga, mendengarkan tepuk tangan riuh dari penonton.
Ketika kembali ke sekolah, reaksi teman-teman dan guru berubah drastis. Mereka mulai menghargai dan menghormati Rhea, tidak lagi memandangnya sebagai anak yatim piatu yang lemah. Senyuman di wajah Rhea menunjukkan kebahagiaan yang tak terucapkan. Ia belajar bahwa pengakuan dan penghargaan bisa datang dari tempat yang tidak terduga, namun yang terpenting adalah keyakinan pada dirinya sendiri.
Akhirnya, Rhea menemukan kepuasan dan kebahagiaan dalam usahanya sendiri, mengetahui bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh pendapat orang lain. Ia mengerti bahwa yang terpenting adalah keyakinan pada dirinya sendiri dan keberanian untuk terus melangkah maju.
“Mulai sekarang, aku akan melakukan semuanya untuk diriku sendiri, bukan untuk mereka,” pikir Rhea, tersenyum dengan tekad yang baru.
===
Yulia Nirmalasari, atau yang sering disapa Yulia atau Mala, merupakan gadis berusia 19 tahun yang berprofesi sebagai mahasiswa. Memiliki hobi membaca Wattpad, novel, dan manga, yang membuatnya termotivasi untuk menulis karyanya sendiri.