Kasih Tak Tergantikan (Tugas BWC #3)
Suara kicauan burung menyapa seorang pria yang sedang duduk melamun dihalaman rumah yang ia tempati dengan orang yang kini berada disudut surga paling indah, dikota Bandung lima tahun silam sekilas terbayang kisah pahit dan getirnya masa itu.
Terik mentari itu menembus kaca kamar arya wijaya yang berkelahiran 17 agustus 1993, dengan sigap ia menutup jendela itu dengan gordeng berwarna kuning agar ia bisa terlelap kembali. Namun riuh diluar membuatnya terpaksa bangun dari tempat tidurnya dan mengusir rasa kantuknya yang semakin mengerogoti ia kala pagi itu, dengan susah payah ia membuka pintu kamarnya ia mendapati seorang wanita berambut panjang yang berusia 47 tahun dengan kebiasaanya menyisir rambut dikala menjelang sore hari didepan pintu itu, sering disapa orang dengan nama aidah, ia adalah sesosok yang melahirkan arya. Pagi itu ia mengucapkan selamat pagi dan membawa sepotong kue yang bertulisan selamat ulang tahun anak bunda tersayang yang ke 20 tahun, “selamat pagi anak bunda dan selamat ulang tahun sayang” suara halusnya menyapa arya sambil memeluk arya “terimakasih bun” aryapun membalas pelukan bundanya dengan hangat “ayo nak, tiup lilinnya dulu sambil berdoa ya, jangan lupa doa kan bunda sehat selalu ya” tawa ibunya “iya bun pokoknya bunda harus sehat selalu sampai arya sukses ya” tawa merekapun pecah, namun dalam hati aidah “ ya allah arya sudah semakin dewasa aku takut ia salah pergaulan diluar sana” bisiknya dengan nada sendunya namun ia simpan dari anaknya tercintanya.
Aidah hanya tinggal berdua dengan arya anak semata wayangnya, ayah arya sudah meninggal dunia saat arya berusia 10 tahun karena kecelakan dalam pekerjaannya yang terjadi atas keteledoran dirinya sendiri dalam memasang kontruksi pembangunan sehingga membuat tiang bangunan itu jatuh dan menimpa dirinya sendiri, sehingga wijaya meninggal dunia ditempat kejadian, kala itu aidah dan arya sedang bermain ditaman didekat rumahnya. Ketika aidah mendengar kabar bahwa suami tercinta telah tiada, aidahpun tak bisa berkata-kata lagi hanya air matanya yang mampu mengambarkan betapa hancurnya hatinya dan meringku memeluk arya anak semata wayang itu dan arya yang masih berumur 10 tahun itu hanya berdiam diri dan tampak kebinggungan dengan keadaan bundanya saat itu. Dan selama 10 tahun aidah menjadi single parent ia lebih memfokuskan kehidupan arya dan masa depan arya dibandingkan kehidupan dirinya sendiri. Kini setelah ulang tahun arya yang ke 20 aidah semakin khawatir dengan kehidupan arya.
Kini arya sudah lulus dari SMA dan ia ingin melanjutkan ke universitas Tarumanagara yang ada dikota Jakarta untuk mengejar cita-citanya sebagai dokter karena universitas disana bagus dan arya sudah bosan dengan kota bandung, namun disini dia tau bahwa bundanya tidak akan mengizinkan dia untuk merantau jauh dari pelukan bundanya, tetapi ia memiliki cara agar bundanya mengizinkan untuk pergi yaitu mulai merubah kebiasaanya bangun siang, bermain game dan sering bergadang serta membantu perkerjaan rumahnya agar hati aidah luluh dan mengizinkan ia pergi untuk merantau.
Ketika sore telah berganti malam “bunda” nada sendu arya menyapa diruang tamu ketika aidah sedang asik menonton tv “ iya nak, kenapa ko nada nya gitu” celetuk aidah kepada arya sembari ia menatap arya “bun, arya pengen pergi kejakarta untuk kuliah bun. Arya udah bosan dibandung terus dari Sd sampai Sma kok disini terus” rengeknya pada aidah, setelah mendengar itu aidah Nampak sedih dan lesu mendengarkan keinginan anak semata wayangnya, namun dengan tegas aidah menolak yang diingikan arya “ gak boleh, pokoknya arya gak boleh pergi” sambil menatap arya dengan wajah sedikit sendu “kok gitu bun, aryakan pengen kaya teman teman arya bun” balas arya dengan nada cetus aidah ia menjaawab kembali “ Jakarta itu ibu kota yang keras arya, jika kamu kesana siapa yang bakal ngejagain kamu, ngebangunin kamu terus masakin kamu sama nyeterika baju kamu arya, udah kamu disini aja dan dijakarta itu pergaulan nya gak bagus, kalo kamu pergi bunda sendirian disini” dalam hati aidah ia meringikis kesakitan membentak anak semata wayang yang dari dulu tidak pernah ia bentak, namun arya dengan gigihnya ingin tetap dengan inginya “bun, pokoknya arya mau kuliah dijakarta, kalo gak arya bakal pergi dari rumah” sambil ia berjalan kekamarnya dengan membanting pintu kamarnya, namun dihati terdalamnya arya merasa sangat bersalah dengan tingkah nya pada aidah namun apa boleh buat pikirnya cuma dengan cara ini bundanya mengizinkan ia pergi, “arya” teriak aidah kepada anaknya dalam hatinya ia hancur mendengar kalimat “kalo gak arya akan pergi dari rumah” terpaksa aidah harus mengalah dengan arya agar tidak melakukan hal hal aneh.
Kala mentari menyapa pagi aidah mengetuk pintu kamar arya dengan senyum tipis namun dalam hatinya ia berat merelakan anak semata wayangnya pergi “arya” suara halusnya memanggil arya dari luar kamar, sontak hal itu membuat arya bangun dari tempat tidur meski ia semalaman sebenarnya tidak tidur karena memikirkan tindakannya pada hari kemarin, “iya bun, masuk aja gak arya kunci kok” suara pelan arya menjawab panggilan aidah “nak, kalau kamu emang ingin pergi oke bunda bakal izinin tapi kamu harus janji sama bunda” spontan arya langsung menjawab dengan semuringa “beneran ini bun, makasi bun janji apa bun?” ”janji kamu harus baik baik aja, jangan bergaul sembarangan dan yang pasti bawakan kesuksesan untuk bunda disini” dengan senyum tipisnya arya memeluk aidah dengan penuh kehangatan dan air matanya jatuh kala itu, “iya bunda, doakan saja arya disana arya akan sungguh- sungguh mencari ilmu disana” merekapun tertawa bersama dan menghabiskan waktu, untuk terakhir kalinya ketika arya akan pergi merantau dari aidah selama beberapa tahun.
Perjalanan kehidupan rantauan pun dimulai kala arya untuk pertama kalinya pergi kejakarta, mendatangi universitas tarumanagara karena itu adalah tujuan utamanya untuk melakukan tes agar bisa masuki universitas itu, arya pun sudah mempersiapkan segalanya dari bandung untuk menghadapi ujian tersebut. Tak selang beberapa jam pengumuman pun keluar dan nama Arya Wijaya terletak diurutan ke 10 dari 500 calon mahasiswa, karena Arya adalah anak yang pintar meski ia malas dalam belajarnya namun demi cita cita nya ini Arya menepis semua kemalasannya untuk membuktikan kepada Aidah bahwa ia tidak main main dalam keinginanya. “halo bun, Arya lulus tes bun” dengan nada gembira Arya menyapa aidah dari via ponsel milikinya “iya nak, allhamdulilah selamat ya nak, harus belajar dengan giat ya nak jangan malas malasan lagi kamu kaya disini ya” “iya bun, arya bakal janji sama bunda gak bakal kecewain bunda dan bunda harus doain arya biar semua urusan Arya lanca-lancar aja ya bun” dengan nada halus Aidah menjawab “iya nak, pasti bunda doain Arya yang terbaik deh”.
Selama 4 tahun arya dengan giat memperlajari ilmu kedoktoran dan tak lupa ia selalu berkomunikasi dengan aidah yang terpisah oleh jarak dengan dirinya dan akhirnya Arya mendapatkan ijazah kedoktoran dan ia berkerja dibandung untuk tinggal besama Aidah, betapa bahagianya Aidah ketika mendapati anaknya sudah memiliki gelar sarjana doctor. Tak berselang satu tahun Aidah meninggal dunia karena penyakit jatung menyerangnya ketika ia sedang berbincang dengan Arya prihal perkerjaan Arya. Arya pun mengikhlaskan bundanya untuk pergi selamanya setidaknya ia menepati janji nya dengan aidah untuk bersungguh-sungguh mencari ilmu meski ia belum sempat memberikan cucu kepada bundanya.
Jangan ingkari janjimu dengan kedua orang tuamu karena kau tak perna tau kapan ajal mu dan ajal orang terdekatmu meghampiri dirimu dan keluarga mu, ingatlah kasih ibu dan ayah tiada tandinganya didunia ini.