Tanpa Aku: Benny Arnas, Pencerita Handal Dengan Bahasa Tubuh
Oleh Ubai Dillah Al Anshori
Judul : Hujan Turun dari Bawah
Penulis : Benny Arnas
Tebal : 75
Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia
ISBN : 9786020502113
Cetakan Pertama : Juli, 2018
Kata Pengantar : Hasan Aspahani
Penyair adalah orang yang mahir dalam penggunaan bahasa, sedangkan bahasa didefinisikan sebagai alat komunikasi. Puisi menjadi alat komunikasi dari penyair terhadap pembaca. Membaca buku puisi Benny Arnas “ Hujan Turun Dari Bawah” rasa- rasanya seperti mendengarkan ia bercerita dengan santai. Ia mengajak untuk melompat dari satu titik ke titik lain dengan menggunakan bahasa yang memang terkuasai. Entah itu bahasa ibu atau bahasa daerah. Memandang lebih jauh ke dalam diri Benny Arnas. Ia mencoba menuliskan puisi-puisi yang ada di dalam buku dengan cara pandang yang menarik.
Ia membuktikan kalau seorang penyair hadir dan dapat menangkap sebuah hal-hal besar bahkan kecil sekalipun. Tanpa kata “Aku”, kata yang tertinggal jauh ke belakang, bangunan antara aku dan kau, aku dan alam, aku dan rindu bukan lagi menjadi segalanya. Biasanya aku-kamu itu adalah dua hal yang saling bertariki ulur. Bisa mendekat – bisa menjauh, dan seorang penyair tidak bisa selalu mempercayai kalau kata “aku” menjadi hubungan empati antar manusia.
Hari ini, esok ataupun lusa penyair membutuhkan kata “kita” untuk menyatukan hubungan lebih erat lagi, kita lebih padat nitimbang kami, di sela-sela kami masih ada kata kalian yang bisa membentangkan jarak. Sedangkan kita ialah pengikat antara keduanya. Kata “kita” telah digunakan oleh bang Ben, panggilan yang sering dipanggil kepada penulis buku tersebut . Perihal unik ketika melihat pemilihan demi pemilihan kata, padanan demi padanan yang terkadang dibenturkan dengan tidak selayaknya.
Mampuslah jubah dan gerai rambut para gadis pancarona. Mangkuslah rajam-rajam dalam benggala. Hingga hanya idrak tersisa. Keheningan menguning. Malam sudah tinggi, agak condong ke kiri.
Pilihan kata “menguning” yang dipadukan dengan “keheningan” memiliki tanda tanya. Bagaimana cara melihat hening yang kuning?. Dan “ Malam agak condong ke kiri” ikut serta dalam memunculkan pertanyaan yang sama. Tetapi, hal itu yang membuat rasa legit dalam buku puisi itu menjadi lebih berbeda dengan yang lain. Kebanyakan pendapat yang terus menjaga puisi tetap berdampingan dengan bahasa, sastra, keindahan, curahan hati, dan harus dibaca dengan cara menafsirkannya, pada gilirannya kian memperlihatkan bahwa puisi bukanlah sebuah kurikulum dan menjinakkan dengan indah.
Buku Puisi “ Hujan Turun Dari Bawah “ jika ditarik dari benang merahnya ialah menceritakan kelahiran, perjalanan, yang dibangun dengan susah payah, dengan galian dan dasar yang ada dalam pandangan, dalam rasa, dalam diri. Tetapi, tidak menceritakan sebagai dirinya sendiri. Padahal hal – hal itu beranjak dari diri sendiri.
Ia membentangkan jarak, jarak yang sebenarnya milik sendiri, ia menasehati anak, menasehati orang atau pembaca. Tidakkah secara langsung, dengan kasat mata, dengan kekuatan bahasa yang ia bangun serupa labirin. Saya sepaham dengan kata bangunan labirin yang diucapkan oleh Hasan Aspahani.
Anak yang tumbuh adalah yang selalu menyiram hati ibunya kala kemarau panjang selalu gagal menanduskan kemurahan sebab dapur masih mengepul oleh bawang merah dan cabai merah yang ia masak dengan puisi-puisi kasih sayang yang dilagukan dengan penuh pengertian.
Menelisik puisi yang ada dalam buku tersebut, ungkapan saya di atas menurut hemat saya adalah bertemu kalau penulis berhasil menasehati dengan gaya bahasa. Jika, menjerumuskan ke dalam labirin kita dapat menemukan setelah membaca buku tersebut.
Tidak hanya itu, keberadaan lain saat penulis mencoba menjadi ibu, menjadi tokoh agama, membaca lebih dalam lagi, menggali lebih rinci lagi agar mendapat inci demi inci apa yang akan disampaikan seorang benny Arnas sebagai penulis buku Hujan Turun Dari Bawah. Ia bercerita saat saat di mana kiamat akan muncul, kelahiran telah musnah dan lelaki mencintai dirinya sendiri.
Kembali kepada bahasa dalam diri Benny kutipan pendek yang saya ambil dalam buku tersebut remah-remahnya menjelma gulai opor, pindang baung, terong ungu muda, sambal macang, dan dayang rindu pulen di dalam bakul.
Saya rasa bahasa ini tidak khas di Sumatra Utara, barangkali, tebakan demi tebakan itu adalah bahasa yang kerap digunakan di kampung halaman seorang penulis. Sebenarnya beberapa penulis atau penyair berpikir dua sampai tiga kali melakukan hal itu. Alasan, mereka berbeda. Ada yang mengatakan dengan menggunakan bahasa itu kita ketinggalan, kita kehilangan kekuatan , ada pula yang tidak minat.
Medan, 23-01-2019
Tentang penulis:
Ubai Dillah Al Anshori lahir di Pematangsiantar. Karya-karyanya telah di muat di media cetak, baik lokal maupun nasional. Buku puisi tunggalnya berjudul “Setungkul Benang”. Tercatat sebagai salah satu Alumni UMSU dan saat ini sedang menjalani studi Pascasarjana di ISI Padang Panjang. Bergiat di Komunitas kepenulisan FOKUS.