Oleh: Benny Arnas
Apa yang paling diharapkan pada orang-orang yang mengurusi perkumpulan, komunitas, atau organisasi? Tidak lain tidak bukan adalah akuntabilitas keberadaan mereka di sana. Akuntabilitas ini mencakup kemampuan, loyalitas, dan tentu saja transparansi. Hal itu berlaku umum, termasuk pada kepengurusan Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau (DKLG) periode 2019-2024 yang digawangi 21 orang pengurus berusia di bawah 36 tahun.
Ketika ketua DKLG, Yetti Oktarina Prana, dan saya selaku sekjen berembuk untuk merumuskan formula bagi kepengurusan yang lebih baik pada awal tahun 2019, kami memutar otak. Kami tak punya pegangan apa-apa, selain hak prerogatif yang telah diberikan musda kepada ketua. Ya, sebagai petahana, Bu Rina, begitu kami biasa memanggilnya, mengeluarkan pernyataan tegas bahwa ia bersedia memimpin kembali DKLG apabila diberi hak prerogatif penuh membentuk kepengurusan yang baru. Ketegasan ini penting karena itu menunjukkan kesungguh-sungguhan beliau untuk memajukan kesenian di Lubuklinggau. “Kalau setuju dengan syarat itu, pilih saya lagi. Kalau tidak, ya pilih yang lain saja.” Simpel. Gitu aja kok repot!
Makanya, kami cukup heran dengan statemen oknum pengurus DKLG lama yang mengatakan kalau penjaringan kepengurusan DKLG periode 2019-2024 menyalahi aturan dan ilegal. Padahal oknum ini menjadi bagian musda yang memgaminkan syarat hak prerogatif yang diajukannya sekaligus menjadi bagian tim formatur yang mengetuk palu penetapannya sebagai ketua. Ah sudahlah. Anggap saja ini intermezo sebelum tulisan ini menunjukkan bagaimana kafilah DKLG yang terus bergerak, fokus menjalankan tugas sebagai fasilitator kesenian.
***
Ketika di tengah pidatonya sebagai ketua yang baru di pengujung musda, Bu Rina menunjuk saya menjadi sekjennya, saya tahu bahwa ia membutuhkan rekan kerja untuk merumuskan urusan yang paling dasar; mau digunakan untuk apa hak prerogratif yang melekat padanya. “Hak ini harus dipergunakan untuk DKLG yang bisa menjadi rumah bagi kesenian. Kita jangan merilis program dengan menjadikan pengurus sebagai target anggarannya. Akan terjadi politics of interest!” Tentu saja saya sepakat dengan visi yang mulia itu.
Saya tertarik dengan cetak biru penyataan beliau. Ya, kami sepakat, DKLG tak boleh mempraktikan politik “Buat dewek, netak dewek, makan dewek!”. Kami harus memosisikan diri sebagai pembuat program. Yang netak dan makan, ya mereka yang terus berkarya. Catat: berkarya.
Saya pikir, visi yang baik harus didukung oleh pola perekrutan yang juga baik. Hak prerogatif itu pun digunakan untuk menginisisasi perekrutan yang akuntabel. Yang mengundang siapa pun dari kalangan mana pun, asalkan mereka memiliki visi memajukan kesenian dan berusia maksimal 35 tahun untuk mendaftarkan diri. Ya, kami membuka pendaftaran terbuka. Yang meras terlalu hebat untuk datang dan menawarkan diri untuk jadi bagian DKLG, ya memang gak usah berada di dalam. Yang hebat, memang di panggung saja. Dan DKLG, gak boleh naik panggung. Lalu, mengapa kami menetapkan batasan usia 35?
Tentu saja, jawabannya tidak asyik kalau semua semata prerogativitas semata. Kami menilai, 17-35 tahun adalah rentang usia energetik bagi mereka yang gemar berorganisasi sekaligus memajukannya dengan militansi tanpa tendens. Ya, kami ingin menjaring anak-anak muda yang bersedia dan rela mengurusi kesenian, tanpa harus berkecil hati kalau mereka tak mendapat panggung alias tak menjadi target honorarium dalam penganggaran sebuah program acara. Kami mencari pemuda-pemudi yang mau bekerja di belakang layar sekaligus tidak menggerutu karena kerja berat mereka hanya dihargai senilai honor panitia sesuai standar laporan keuangan. Ah, jumlahnya tak usah disebutkan di sini. Selain sangat kecil, itu akan sangat mengerdilkan kerelewanan mereka dalam kepengurusan ini. Dan kami pikir, usia energetik itu penting masuk pertimbangan kami. Kalau ada yang merasa, syarat itu menjegalnya, berarti dia terlalu GR, seakan-akan kesenian Linggau ini hanya berurusan dengan dirinya.
Maka, yang paling potensial menjadi targetan anggaran kami adalah seniman itu sendiri—termasuk para seniman di kepengurusan terdahulu sekiranya terus berkarya. Jadi, kalau ada seniman muda yang produktif ingin mendaftar, kami akan menyatakan hal ini dua kali, “Kamu di sini ngasih panggung kepada orang lain, kepada seniman lain. Kalau mengharap masuk DKLG, kamu akan buat program agar kamu bisa nampil dan dihonori, mending kamu di luar saja. Biar kamu diurusi, bukan mengurusi.” Ya, DKLG “yang baru” tidak ingin main-main. Visi “Untuk Semua” itu benar-benar ingin kami wujudkan.
Sekali lagi, pengurus DKLG periode ini berisikan para fasilitator, bukan kreator. Kalaupun ada kreator di dalamnya, mereka adalah penampil yang berusaha keras membunuh hasrat-tampilnya untuk mengurusi penampil lain, untuk mengurusi orang lain. Serelawan itu core kepengurusan periode ini.
Tapi, sekali lagi, visi yang baik tanpa transparansi adalah retorika yang menyedihkan.
Kami pun membuka pendaftaran secara terbuka dengan memanfaatkan kanal medsos untuk publikasinya. Murah, meriah, dan terakses. Untuk menghindari kontak langsung dengan panitia, pendaftaran pun harus lewat Google Form. Jadi kalau masih ada yang ngedumel, “kok saya gak diberitahu kalau ada pendaftaran?” yaaa kami akan ketawa seraya bilang, “kamu itu siapa toh, sampai-sampai jagat raya kudu ngingetin kamu yang gak pernah tahu isi dunia ini?!”😂
Kami menerima 80-an pendaftar, meski yang bisa kami undang untuk wawancara hanya separuhnya sebab banyak sekali calon pengurus yang tak mau repot-repot melengkapi persyaratan yang sudah dibuat. Bagaimana mau ngurusi orang lain kalau sekadar melampirkan foto KTP atau menulis pengalaman berorganisasi atau tetek bengek kerepotan pemberkasan lainnya, sudah malas duluan?
Kami memilih Azman Bainuri dan Ferry Irawan untuk membantu saya dalam urusan kuratorial atau penyeleksian pengurus. Kami pikir, ini komposisi yang represantatif; Azman adalah budayawan nonpengurus DKLG sebelumnya, sedangkan Ferry adalah pengurus sebelumnya yang juga menjadi bagian tim formatur yang mengetuk palu dalam penetapan Bu Rina sebagai ketua—dengan hak prerogatif yang melekat padanya—dalam musda DKLG.
Ketika mengoordinatori penyeleksian, saya nyaris tak bekerja. Ferry dan Azman saya persilakan memilih pengurus sesuai hasil wawancara. Saya hanya bersuara ketika mereka membutuhkan pendapat saya. Kesahihan informasi ini, bisa langsung Anda konfirmasi pada mereka, mumpung keduanya masih hidup, sehat dan belum pantang makan enak 😂
Kepengurusan DKLG periode baru ini pun super ramping. Toh, memang DKLG ini bukan penampungan kok, jadi harap dimaklumi atas komposisi 18 pengurus di 6 komite dan 3 pengurus teras yang membantu ketua dan sekjen. Ya, hanya 23 orang yang memenggawai DKLG untuk Semua ini!
Bagaimana jalannya organisasi ini?
Rapat diawali dengan sosialisasi dana hibah yang dikucurkan pemerintah, termasuk peruntukannya ke mana saja. Semuanya dalam bentuk berkas lunak dan cetak. Artinya, kalau versi cetaknya hilang, pengurus masih tetap memiliki berkas digital yang dibagikan kepada semua. Ya, transparansi bukan hanya akan menerbitkan kepercayaan, tapi juga gairah dan kegembiraan.
Hamdalah, 3 program yang kami cetuskan pada mulanya, malah beranak-pinak jadi 6 program tanpa harus menambah anggaran sedikit pun. Lagipula apa yang mau ditambah, toh anggarannya sama-sama tahu. Semua program konsisten dengan prinsip kerja “fasilitasi kesenian”. Ya, semua program itu mengalokasikan anggaran pada pelaku seni nonDKLG. Detail program dan acaranya, sila Anda tilik sendiri di www.dklinggau.com atau FB dan Instagram @dklgofficial. Ya, kami juga menerapkan dokumentasi digital sebagai keniscayaan untuk mendukung akuntabilitas lembaga ini.
Trus, kalau ada yang bilang, “Saya ini seniman nonpengurus, tapi kok belum diundang tampil atau jadi juri atau kasih materi?” Ya yang sabar toh, lur, seniman itu bukan Anda sahaja. Semua ada masa sebab katanya hidup ini seperti roda. Asal sampean trus berkarya, menjaga silaturahim, dan memelihara prasangka baik, insya Allah akan ketangkap radar kita juga kok.😊
Alhamdulillah, semua program tersebut disusun oleh tiap komite dengan gembira raya sebab mereka diberi keluasan membuat apa yang mereka mau, tentu saja selama ia bermanfaat bagi dunia kesenian. Bu Rina dan saya tak mau mencampuri. Selain kami memercayai mereka dalam berproses, kami—khususnya saya—pengen sekali tinggal datang dan menyaksikan kerja keras anak-anak muda.
Yang mengharukan lagi adalah, program yang sejatinya sudah rampung pada November 2019, mereka tambah lagi dengan program lintaskomite. Ya, keenam program sebelumnya memang menjadi urusan satu atau dua komite yang bersinergi. Jadi, mereka belum memiliki program kolektif. Dan cara protesnya mereka sangat asyik dan elegan. Mereka gak ngedumel di belakang atau menyebarkan pengaruh buruk satu sama lain karena ketidakpuasan itu. Mereka protesnya dengan berkarya!
“Bang, kami buat program sendiri,” ujar beberapa dari mereka ketika menghadap saya sebulan sebelumnya. “Duitnya?” tanya saya to the point. “Ya urusan kami,” jawab mereka lugas. “Yang jelas DKLG mau membuktikan bahwa kami yang muda-muda ini ingin berkreasi dengan bawa nama DKLG, tapi dengan impact yang lebih luas.”
Saya melongo.
“Gimana, Bang?” desak mereka.
“Kalian mau tampil semua?” Ya Allah, jahat sekali saya berprasangka. Ya, saya pikir, karena program beranggaran selama ini tak memberi mereka panggung, mereka mau buat panggung sendiri.
Makin menyesallah saya dengan prasangka itu ketika Mambo Creative Night (MCN), begitu nama program kolektif yang mereka inisiasi itu, melibatkan sekolah, sanggar, dan praktisi kreatif muda nonpengurus untuk tampil di panggung terbuka Pasar Mambo tanggal 30 November 2019 kemarin. Tak satu pun mereka masuk dalam daftar penampil. Mereka menggandeng Satuan Pedagang Kaki Lima (SPKL), Polres Lubuklinggau, Polsek Lubuklinggau Barat, Dandim 0406, Kopi Ananda, dan pihak-pihak lain yang membuat MCN terealisasi dalam kondisi keuangan DKLG yang nol rupiah. Mereka bukan cuma berkarya, tapi juga cerdas dalam mengeksekusi gagasan. Masyarakat pun tumpah-ruah di salah satu kawasan terbuka tengah kota itu.
Saya sangat terharu dengan loyalitas anak-anak muda ini pada kesenian di daerahnya. Dengan menggandeng banyak pihak, mereka melakukan sesuatu yang melampaui ekspektasi. Mereka baru saja menjawab sinisme berbagai pihak dengan berbuat. Memang, anak muda, cara terbaik untuk menjawab keraguan adalah dengan berkarya, bukan meladeninya dengan kata-kata. Waktu ini terlalu sedikit untuk meladeni kekosongan.***
Lubuklinggau, 1 Desember 2019