Oleh: Hendy UP
Alhamdulillah aku telah menyaksikan film HAYYA: THE POWER OF LOVE 2. Film berdurasi sekitar 100 menit itu mulai tayang serempak di 140 bioskop Indonesia pada Kamis, 19 September 2019. Diangkat dari novel “HAYYA” karya Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas. Aku sungguh beruntung mendapat undangan khusus dari penulisnya, Benny Arnas, untuk Nobar di Bioskop Lippo Lubuklinggau, kota kecil di ujung Barat Sumsel.
Sepuluh tahun yang lalu aku diperkenalkan nama Benny Arnas oleh anakku Setta yang tengah ‘glomat’ menimba ilmu di Bulaksumur Yogya. Mereka sama-sama aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah wadah pengkaderan penulis muda yang digagas oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati dkk (Fak. Sastra UI) sekitar tahun 1997-an. FLP kemudian tumbuh merambah ke berbagai perguruan tinggi dan kota-kota di seluruh Indonesia.
Karena aku menyukai dunia sastra, hampir setiap saat aku mengunjungi blog sastra [https://www.lakonhidup.com] yang rutin setiap minggu memublikasikan cerpen yang dimuat di lebih lima koran nasional. Di blog sastra yang pengunjungnya kini mencapai 9 juta lebih itu, bertengger teratas nama Benny Arnas sebagai PENULIS PALING PRODUKTIF. Ah… ternyata, penulis Lubuklinggau ini mengalahkan produktivitas penulis mana pun!
Di awal tahun 2019 ~ sepuluh tahun kemudian ~ qodarulloh aku dipertemukan dengan Benny di rumah seorang teman di Watervang, Tegi Bayuni. Pertemuan tak terduga itu menyita hampir 4 jam untuk ngobrol ngalor-ngidul seputar sastra-bahasa. Ada kesamaan obsesi bahwa sastra dan budaya Silampari harus diangkat ke galeri budaya nasional, bahkan portal sastra dunia internasional.
Sungguh aku bangga dan mengapresiasi Benny karena dua hal. Genuin lokal ini tegar nan tangguh mendobrak karang Bukit Sulap yang memadas-batu untuk membangun lorong pencerahan menuju kawasan ujung lain yang benderang. Tak lelah melepuh tulang sendi nafasnya, ia merayap menapaki puncak bukit Sulap, menyapa liukan nyiur pedesaan di bawah sana sembari menghitung gugus gumpalan awan-gemawan. Mengamati lengkung geometrik derasnya angin, bahkan menghadang puting-beliung dengan rapal-ritual yang meyakinkan jati dirinya: bahwa masa depan wajib diperjuangkan, bukan menunggu di bawah batang durian sembari berharap liukan angin meluruhkan buah di cabang-rimpang!
Kedua, sosok Benny adalah sebuah vitalisme. Jauh melampaui idealisme dan materialisme kehidupan. Tampaknya Benny meyakini bahwa kenyataan hidup yang sejati adalah energi, daya-kekuatan, bahkan gaya yang melecut nafsu berkarya merasuki jiwa irrasional. Lalu melahirkan konsep elan-vital demi meraih kejayaan, meninggalkan sekat-sekat ras-etnologia yang menggelayuti budaya lokal yang cenderung pasrah menyerah.
Benny bergegas mendedag, meronta dari cengkeraman dimensi inderawi. Memang secara filosofis, kehidupan dan energi tidak musti saling intervensi. Dan Benny tegak di tengah medan juang, mendamaikan norma kehidupan dusun moyangnya dengan energi vitalisme yang bergolak dalam jiwanya. Dua puluh dua lebih karya sastranya adalah bukti sejarah yang mengukuhkannya.
Puluhan karya dan dua filmnya adalah monumen JIHAD BUDAYA atas nama Benny. Novel dan film HAYYA adalah puncak prestasi yang terus akan ditindih oleh prestasi barunya. Kepiawaian Benny merumuskan strategi juang-jihadnya sungguh tampak irrasional; tapi tak segera menanggalkan aksioma besaran sudut yang memagari isu utama: JEJAK KEMANUSIAAN. Isu baku yang tak akan pernah basi itu harus terus digelorakan, agar kaum milenial tak kehilangan pegangan dalam meniti kesalehan hidupnya. Menebar kebaikan kepada semua kaum, demi kebaikan bagi dirinya. Itulah inti pesan Film HAYYA dalam tagline #JIHAD BUDAYA!
[Blogger: https://www.andikatuan.net]