Karya: Rina Agustina
Mia terkejut bukan kepalang! Bibirnya bergetar, bulu kuduknya tetiba saja berdiri sesaat setelah ia menyenggol piring makan dari atas meja hingga berderai pecah. Ibunya yang ada di kamar langsung keluar mendengar suara tersebut.
Mia meringis ketika melihat ibunya datang. “Kenapa Mi? Kok bisa jatuh? Tidak ada yang terluka kan?” tanya ibunya yang sambil memperhatikan pecahan piring tersebut.
“Maaf Bu … Mia tidak sengaja,” Mia tertunduk, menjawab dengan suara yang gemetar.
“Ya sudah, tak apa. Sana pergi sekolah langsung. Nanti kamu telat. Biar Ibu yang bersihkan,” perintah ibunya sambil mengelus kepala Mia.
“Baik Bu,” Mia tersenyum tipis dan mencium tangan ibunya. Ia berjalan pelan menghindari pecahan kaca piring tersebut.
Seperti hari sebelumnya, Mia belajar di kelasnya dengan suasana tenang dan damai. Bahkan, sesekali remaja perempuan berusia 14 tahun ini bersenda gurau bersama teman-temannya.
Tetapi, ketenangan itu berubah menjadi sebuah ketakutan dan ketegangan saat tiba-tiba gedung sekolah di depan kelasnya dihujani oleh rudal-rudal yang jatuh dari atas. Gedung sekolah itu hancur dan puing-puing bangunan beterbangan seperti bulu-bulu yang ditiup angin. Seisi sekolah panik. Teriakan dan jeritan bersahutan memecah debam rudal-rudal tadi. Semua orang berlari ketakutan menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Namun, tidak dengan Mia. Gadis pemberani ini berlari keluar dari ruang kelasnya untuk menghadang tentara penjajah itu. Hanya beberapa langkah dari ruang kelasnya, mata Mia nanar memperhatikan sekitarnya. Ia melihat banyak sekali teman-teman dan guru-gurunya tergeletak di tanah, bersimbah darah. Air matanya berderai. Ia mengepal tangannya saat melihat tank penjajah itu tepat ada di depan sekolahnya.
Bukannya berlari menjauh, Mia malah berlari mendekati tank tersebut. Baru beberapa langkah dari tempatnya berdiri, ia terjatuh hingga lututnya terluka. Namun, Ia terus maju untuk menghadang tank tentara itu, dengan langkah terseok-seok.
Sekarang, ia sudah berdiri dengan gagah-berani tepat di depan tank penjajah itu. Tangisnya semakin berderai! Air matanya jatuh di pipinya, namun ia tidak gentar sedikitpun, dengan lantang dia berteriak, “AKU TIDAK TAKUT PADA KALIAN!”
Kaki kecil gadis itu kembali melangkah maju menantang tank tentara penjajah di hadapannya. Mia tidak takut sama sekali meskipun sekarang moncong tank itu tepat berada di depan tubuh kecilnya yang sewaktu-waktu bisa saja menembakkan peluru dan menghancurkan tubuhnya.
Mia tak takut mati! Tatapan matanya tajam ke depan walau masih dengan deraian air mata. Mia hanya ingin negaranya bebas! Negaranya damai dan merdeka seperti dulu! Hanya itu yang diinginkannya!
Tentara yang mengoperasikan tank itu perlahan menarik tuas pemicu, sementara Mia terus berjalan dengan terpincang-pincang. Hingga tiba-tiba terdengar suara ledakan sangat keras yang menghempaskan tubuh Mia hingga terpental dan jatuh ke tanah dengan kondisi tubuh hancur lebur.
Peluru tank itu telah menghentikan hembusan napasnya, menghentikan denyut jantungnya. Mia telah tiada untuk selamanya. Gadis pemberani itu syahid untuk membela negaranya. Meskipun negaranya belum bebas dan merdeka, tapi akhirnya, Mia telah bebas dan damai di surga.