(Hari ke-4 di Seram Bagian Barat)
Hari keempat belas di Bulan April.
Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Kalimat itu, di sepanjang perjalanan, kerap saya gumamkan nantinya.
Bang Reimon membawa saya meninggalkan hotel dengan sepeda motor sewaan kami pada pukul 10 WIT. Pendamping saya yang bekerja sebagai staf di Bagian Humas Pemda SBB itu tidak memberi banyak clue terkait lokasi yang kami tuju hari ini, kecuali menyebut “benteng” sebagai daya tarik utamanya. Saya memang sempat memintanya mengantar saya ke benteng peninggalan kolonial di SBB beberap hari yang lalu.
“Benteng ini didirikan oleh Portugis, Spanyol, atau Belanda, Bang?” tanya saya memastikan. Sebenarnya pertanyaan saya itu sangat retoris. Sebab, (negara) penjajah mana pun yang mendirikannya, tidak akan menyurutkan niat saya untuk mengunjunginya.
Bang Reimon tidak menjawab. Saya sebenarnya tidak tahu persis arti diamnya itu. Namun, saya mencoba mengambil prasangka yang paling aman: mungkin dia susah membedakan identitas peninggalan di antara ketiga negara itu. Mungkin.
Bagi saya, dalam konteks Indonesia, terlebih Pulau Seram yang pernah disinggahi Alfred Russel Wallace, menyusuri jejak kolonialisme di dalamnya, tentu akan menjadi pengalaman yang menarik. Terlebih, entah yang keberapa kali saya mengutarakan ini, referensi tentang Seram Bagian Barat di internet sangatlah terbatas.
Di mana-mana, sisa-sisa kekejaman dari kolonialisme, imprealisme, fasisme, atau bahkan genosida, selalu memantik perhatian. Menjadi memori kolektif. Mejadi nostalgia yang oksimoron. Menjadi kelaziman yang menginjak masa lalu.
Di sanalah, sebenarnya kekuatan cerita nyata-nyata bekerja. Apalah guna bangunan tua dan atau puing-puingnya apabila tidak ada kisah yang menguar darinya, apabila tidak ada luka di setiap debu yang melekat padanya.
Manusia gemar sekali menari di atas kengerian masa lalu, di tengah-tengah darah yang kering oleh edaran matahari. Mungkin, apabila kunjungan demi kunjungan pada artefak memori itu untuk menghimpun catatan-catatan yang terserak atau cerita-cerita yang takterungkap atau mencari tafsir baru atas kemapanan sebuah hikayat, tentu saja ia lebih dari sekadar diperkenankan. Namun apabila peninggalan itu diperlakukan dengan gairah turisme, kunjungan demi kunjungan itu memang sebaiknya dilarang saja. Sebab, membiarkan orang-orang asing berfoto dan mengambil video untuk eksistensi di era gawai semata, adalah pengaminan yang dungu, adalah kegilaan nomor tiga tujuh!
Maka, saya pun menolak menjadi bagian dari ketololan itu; narsis tanpa mengeruk cerita. Catat: tanpa mengeruk cerita. Kalau narsisnya, tentu ia sudah built-in dalam jiwa-raga beta. Namun, percayalah, Anda tidak tahu bagaimana bekerja kerasnya saya demi materi kekaryaan. Di media sosial, takkan terlalu suka bila saya publikasikan. Oleh karenanya, saya posting semua yang bekerlipan saja di Instagram. Nikmatilah indahnya SBB lewat foto dan video. Keringat dan luka residensi ini, biar aku saja. Hadeuh!
Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi.
“Berapa lama kita akan tiba di benteng, Bang?” tanya saya ketika Bang Reimon menyalakan mesin motor di depan hotel.
“Jauh tempatnya ….”
“Iya. Nggak papa, Bang. Kalau dekat, ngapain kita pake motor segala,” saya menyunggingkan senyum.
“Dua jam perjalanan,” katanya kemudian.
“Dua jam?” Saya sudah berada di boncengan. Menurut saya itu bukan waktu yang (terlalu) lama alias jaraknya tidak terlalu jauh. Masih masuk akallah. Seharusnya pula, saya mengenakan celana panjang. Tapi saya sudah malas kembali ke kamar.
“Hmm satu setengah jam,” ralatnya agak ragu.
Saya tidak menjawab. Satu setengah atau dua jam ditemani panorama alam SBB yang indah, tentu bukan masalah. “Oke, Bang! Let’s go!” Saya menepuk punggung Bang Reimon.
Sekitar 45 menit kemudian kami sudah tiba di gapura Piru yang megah. Zulfan Toelkan, pegawai Kantor Bahasa Maluku yang membersamai saya hingga hari ketiga di Piru, pernah membidik saya bersama Bu Sastri dan Bu Martha dengan kamera ponsel. Selanjutnya, jalan yang kami lalui penuh kelokan serta menurun dan menanjak. Bang Remon tampak hati-hati mempermainkan gigi sepeda motor. “Beta sudah lama tidak naik motor begini. Sudah terbiasa dengan motor matic!” ujarnya seolah meminta pemakluman saya atas kerepotannya mengolah gigi kendaraan sewaan itu.
Rute Trans Seram yang ekstrem ini mengingatkan saya dengan jalan Lintas Sumatra Lubuklinggau-Bengkulu. Bila tak hapal jalan, tak awas dan tak berhati-hati, apalagi memaksakan berkendara dalam keadaan tidak fit, peluang terjadinya kecelakaan dan musibah di jalan prosentasenya sangat besar. Bang Reimon tampaknya paham sekali risiko itu. Ia beberapa kali menolak keinginan saya menepi dengan alasan keselamatan.
“Nanti kita akan bertemu pemandangan yang lebih indah,” katanya seakan memahami keinginan saya untuk merekam keindahan SBB dari ketinggian jalan provinsi ini.
Tentu saja saya tak bisa berbuat banyak. Saya sepenuhnya percaya pada laki-laki bermarga Manuputty itu. Dia tak pernah menolak apa pun ajakan saya saking baiknya. Ketika ia melakukan hal yang sebaliknya, tentu ia sudah memikirkan yang terbaik bagi orang yang menjadi tanggungjawabnya. Bang Reimon sejatinya hanya satu dari tiga pendamping lokal yang direncanakan memfasilitasi saya di SBB. Namun, melihat bagaimana ayah dari tiga anak ini menawarkan bahasa tubuh persahabatan dan penghargaan pada orang baru sekaligus asing seperti saya, saya pun lupa dengan keberadaan pendamping lain.
Lepas dari jalur penuh kelok, turunan, dan tanjakan itu, kami memasuki Negeri Waisarisa. Di sini, saya membuktikan kata-kata Zulfan bahwa pekarangan rumah penduduk di SBB luas-luas dan rimbun oleh pepohonan.
Setengah jam kemudian kami memasuki Negeri Kamal. Menjelang jembatan yang menyalib Sungai Kamal, mural ucapan selamat paskah di kanan jalan tertangkap pandang. Sebagaimana desa-desa kristen lainnya, papan salib bertebaran di kiri-kanan jalan. Awalnya saya pikir, itu adalah identitas desa kristen di SBB, ternyata tebakan saya tidak sepenuhnya benar. Papan salib itu adalah sisa perayaan paskah yang baru berlalu. “Paling bulan depan, papan-papan itu sudah tidak ada lagi, Bang.” Saya ingat kata-kata Zulfan itu ketika pertama kali saya menanyakannya.
Matahari sudah tegak lurus dengan kepala ketika kami tiba di Negeri Waisamu. Teriknya hari sedikit pun tidak masuk dalam daftar keluhan saya, sebab kiri-kanan jalan yang hijau oleh pohon kayu putih dan deretan nyiur yang menjulang lebih memantik perhatian saya. Di daerah yang dikenal sebagai negeri adat ini, kami bermaksud mencari rumah adat Seram. Namun seorang penduduk asli yang kami temui malah menyarankan kami untuk ke negeri sebelah karena kami tidak akan menemukan yang kami cari di Waisamu.
“Kenapa, Bapak?” refleks saya menunjukkan keingintahuan. Saya baru saja mengambil foto kebun kelapa yang luas dan terawat yang terletak persis di seberang jalan rumahnya.
“Ini adalah negeri baru. Tua-tua kami di negeri lama tidak merestui kami pindah ke sini, meskipun ini didaulat sebagai negeri adat.”
Laki-laki paruh baya yang sedang duduk di bawah semacam pondokan beratapkan daun sagu itu lebih tertarik menyelesaikan jawabannya ketimbang memberitahu saya di mana sebenarnya negeri lama itu.
“…. Kami sudah dikutuk tetua sehingga tidak satu pun rumah adat berdiri di sini! Kalau mau rumah adat, bukan di sini! Cari tempat lain!” Kalau saja saya tidak terbiasa dengan gaya bicara orang Seram, pasti saya pikir dia sedang mengusir kami. Namun syukurnya saya sudah cukup Timur soal itu. Bapak itu mengungkapkan kekesalan sekaligus menjawab pertanyaan saya.
“Dia tidak marah. Kamu pasti paham, ‘kan?” kata Bang Reimon ketika kami akan melanjutkan perjalanan.
Saya mengangguk meskipun saya tahu laki-laki plontos itu tidak bisa melihatnya. “Lanjuuut, Bang!” seru saya sebelum kemudian mengangkat tangan dan tersenyum pada bapak yang masih melihat kami dengan tatapan tajam.
Sepertinya SBB ini kaya sekali dengan sungai. Tiap negeri pasti punya sungai, tebak saya. Saya bahkan menghapal jumlah negeri dengan menghitung jumlah jembatan yang kami lewati. Tapi, sayang sekali, sebagaimana Sungai Eti yang kering dan dangkal, semua sungai di SBB ini juga bernasib demikian. Sepertinya pengerukan pasir dan pengambilan batu kali cukup sering dilakukan sebelumnya, meskipun sejauh ini saya tidak pernah melihat aktivitas itu. Mungkin juga disebabkan oleh hal lain yang saya tidak tahu.
“Nanti kita cari negeri adat itu. Tenang saja,” Bang Reimon mencoba menghibur saya.
Saya tertawa kecil. “Itu selingan saja, Bang. “Besok-besok kita akan alokasikan waktu khusus untuk mencari rumah adat itu. Sekarang kita cari benteng dulu!” Saya coba mengembalikan fokus. Sebenarnya secara tidak langsung saya ingin bilang, “Hei, Bang! Kita sudah menghabiskan dua jam perjalanan. Apakah masih jauh?” Tapi saya urung mengutarakannya. Saya justru khawatir dengan jawaban “Masih jauh” atau jawaban “sebentar lagi” yang akan mengingatkan saya pada tabiat orang-orang di kampung pedalaman yang tak lain tak bukan artinya sama saja, sama-sama “masih jauh”!
Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Itu yang kembali saya gumamkan ketika Bang Reimon berkata sebentar lagi kami akan memasuki daerah laut–ketika melewati Negeri Tihulale dan hampir satu jam kami menyusuri jalan meliak-liuk dengan pemandangan hutan di sisi kiri dan kanan.
“Jadi kita sudah dekat, Bang?” tanya saya penuh harapan.
“Wah masih jauhlah!”
Alamakjang! Gaya Bang Reimon menjawabnya seolah-olah ia tidak pernah menyebut satu setengah atau dua jam sebagai waktu tempuh yang ia perkirakan. Oh, baiklah.
“Tapi nanti kita bisa liat laut lebih dekat. Sepuluh menit lagi kita akan masuk Kairatu,” lanjutnya.
Saya tidak menjawab. Saya tidak tahu harus berkata apa. Tapi saya ingat. Kairatu adalah nama kecamatan di SBB, tempat di mana kapal feri megantar-jemput penumpang. Benar saja, tidak sampai satu menit setelah Bang Reimon mengatakan itu, di sisi kanan jalan, di antara celah ranting pepohonan, pemandangan laut biru dan pulau-pulau yang ikut membiru seperti bergerak mendekati kami.
“Stop!” teriak saya ketika sebuah surga, di luar dugaan, terbentang lepas di kanan jalan.
Bang Reimon menepi dan seperti paham keinginan saya, ia mematikan mesin sepeda motor. “Ini namanya Negeri Hutasua,” ujarnya seraya mencabut kunci motor.
Baik. Hutasua atau pun Husamuda, saya tidak terlalu peduli. Panorama ‘Eropa’ ini harus diabadikan. Cekrek!
Hari sudah menunjukkan pukul 13.00 WIT yang artinya sudah tiga jam kami berada di atas sepeda motor. Perut saya sudah menuntut haknya. “Kita cari makan dulu, Bang!” seru saya ketika kami kembali melaju.
Tak jauh dari Puskesmas Kairatu, kami berhenti di depan sebuah kedai nasi. Warung Lia, demikian terbaca di papan namanya. Kami memilih menu ikan laut kecap sebab siang itu saya dan Bang Reimon sama-sama sedang tidak ingin makan telur. Hanya dua lauk itu yang tersisa siang itu.
Ternyata kami disilakan mengambil sendiri nasi dan lauknya. Saya mencedok daun daun kasbi (daun ubi) kuah santan, sambal goreng, dan kokohu untuk menambah selera. Awalnya saya mengira menu yang terakhir itu adalah urap, makanan serupa-tapi-tak sama yang kerap saya temukan di Sumatra, ternyata bukan. Mungkin karena komposisi kelapa parut dan taugenya yang terlalu banyak. Mungkin pula karena kelapa parut di kokohu tidak disangrai terlalu lama sebagaimana kelapa parut pada urap yang berwarna kecoklatan. Ah, gaya saya seperti ahli kuliner saja! Tapi memang rasanya berbeda. Ketika ibu pemilik warung yang berdarah Saparua menyebutnya kokohu, saya mengangguk-angguk. Ternyata itu memang dua menu yang berbeda. Atau itu istilah yang digunakan orang Saparua untuk menyebut urap? Auk ah gelap!
Setelah minum es teh manis yang datang ketika nasi, lauk, dan sayur sudah berpindah ke lambung, saya menuju minimarket yang terletak tak jauh dari Warung Lia. Saya membeli air mineral dan roti isi selai kacang untuk kami berdua. Mumpung ketemu minimarket, pikir saya. Ya, sepanjang perjalanan ini adalah minimarket pertama yang saya lihat.
Kami melanjutkan perjalanan dan saya tidak berani bertanya seberapa lama waktu tempuh kami ke tempat tujuan.
Jalanan di sekitar pelabuhan agak lebih ramai dibanding jalanan di negeri-negeri yang kami lalui tadi. Bus antar kota dan angkot lalu lalang membawa penumpang dan hasil bumi. Biasanya bagian atas kendaraan digunakan untuk mengangkut sayuran dan buah-buahan. Tepat di tengah jalan simpang tiga, sebuah pemandangan tak lazim membetot perhatian saya. Sebuah bus dan angkot berhenti di tengah jalan. Anda tahu kenapa? Karena sopir bus membawa barang titipan untuk sopir angkot. Saya meminta Bang Reimon melambatkan laju sepeda motor karena saya tertarik untuk mengabadikan momen langka itu. Oh, tidakkah mereka bisa menyepakati sisi jalan bagian mana untuk menepikan kendaraan, batin saya. Ternyata itu belum selesai, sodara-sodara! Kedua sopir itu terlibat dalam percakapan yang diselingi tawa sekitar lima menitan. Beberapa mobil di belakang yang lajunya tampak terhalangi seperti sudah memaklumi keadaan itu. Sopirnya memutar kemudi untuk mengambil badan jalan kosong untuk melanjutkan perjalanan.
Sebagaimana di negeri-negeri kristen lainnya, gereja-gereja yang megah mudah sekali ditemukan di sekitar Kairatu. Di dekat pelabuhan tadi sepertinya saya sempat melihat sebuah masjid di tepi jalan, tapi saya abai mendokumentasikannya. Sekeluar dari jalanan kiri-kanannya ramai oleh permukiman, kami kembali bertemu hamparan laut di kanan jalan.
Bang Reimon menepi. Saya pikir ia sengaja melakukannya untuk memberi kesempatan saya mengambil satu-dua petik foto laut yang indah ini, ternyata tidak. Ia menyapa seseorang untuk bertanya seputar negeri yang kami tuju. Oh, semoga tidak lama lagi, batin saya seraya mengarahkan kamera ponsel ke pemandangan yang baru pertama kali saya lihat: beberapa pohon tumbuh di dalam laut. Saya tahu, panorama itu adalah efek abrasi yang menyerang pantai. Namun, efek abrasi di pantai SBB justru memberikan keindahan yang anomalik. Negeri Kamarian, demikian tempat yang indah ini diberi nama.
“Masih jauh, Bang?” akhirnya saya bertanya juga setelah menjatuhkan pantat di atas jok belakang.
“Tinggal melewati satu-dua negeri lagi,” jawabnya santai.
“Kenapa Abang tadi bertanya tentang tempat tujuan kita ya? Abang pernah ke sana, ‘kan?” Bang Reimon pasti mengendus aroma kecemasan dalam dua pertanyaan beruntun barusan.
“Bang Reimon tertawa. Baru minggu kemarin beta pulang dari benteng. Ini memastikan saja. Beta bawa utusan negara seperti kamu. Beta harus hati-hati,” jawabnya dengan logat Timur yang kental.
Saya mengucap hamdalah. Memang seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi. Entah untuk yang keberapa kali saya menggumamkan kalimat itu.
“Oh oh oh. Nikmati saja segalanya, Benn!” suara hari kecil saya yang lain ketika melihat arloji yang menunjukkan pukul dua siang. Mantap! Empat jam di jalan! Mantap nian! Gigi-gigi saya beradu-dentam. Bergemerutukan. Salah apa, Hamba, ya Allah, sampai harus diombang-ambing perjalanan di negeri orang macam begini!
Kami pun memasuki negeri lain. Saya lupa apa namanya. Kelelahan membuat keinginan sekaligus daya mengingat saya melemah. Saya tiba-tiba mencemaskan perjalanan ini. Kini, saya percaya bagaimana orang-orang bisa mati karena terjebak macet superpanjang. Stress bisa membuat metabolisme tubuh tidak bekerja sebagaimana mestinya.
“Hei, Benn! Wake up! Lupakan satu setengah jam yang jadi patokanmu di awal! Rock the trip, Man!”
Teriakan itu menggedor-gedor kepala saya! Entah suara dari mana itu. Saya merasa sangat tersindir. Kamu tidak usah membanggakan residensimu di New Zealand, Abu Dhabi, Australia, dan negeri-negeri lainnya itu, kalau yang begini saja sudah mewek! Kamu harusnya malu sama Norman Erikson Pasaribu yang menunggu pesawat ke Luwuk yang tak jelas jadwal terbangnya untuk kemudian melalui delapan jam pelayaran menuju Banggai Kepulauan!!!
Jger! Saya mati kata. Baiklah. Saya binar-binarkan mata. Baiklah. Baiklah.
“Apakah Abang punya saudara atau banyak kenalan di daerah benteng nanti?” tanya saya ketika kami memasuki daerah yang di kiri-kanan jalannya banyak ditemui pala yang sudah dikupas kulitnya sedang dijemur di atas gelaran terpal. Bukan apa-apa. Kalau tibanya sudah sore, riskan sekali kami akan melakukan perjalanan pulang sebab petualangan di benteng plus wawancara dengan masyarakat setempat tidak akan bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Jadi menginap di rumah saudara atau teman adalah pilihan paling masuk akal. Saya tidak yakin di negeri tujuan nanti akan ada penginapan, apalagi hotel.
Syukurnya jawaban Bang Reimon cukup melegakan. “Tenang saja, semua orang kenal saya. Baparajanya juga.”
“Baparaja?” Saya mengerutkan kening.
“Pak Pejabat.”
“Pak Pejabat?” Saya makin tak mengerti.
“Kepala negeri.”
“Oh seperti kepala desa gitu, Bang?”
Bang Reimon mengangguk.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Bang Reimon kembali menepi di sebuah pondok. Seorang laki-laki bertelanjang dada sedang membelah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. Oh, begini rupanya kopra dibuat, bertik saya dalam hati.
“Tidak jauh. Sebelah negeri ini!” kata Bapak itu ketika, entah untuk keberapa kali, Bang Reimon bertanya tentang seberapa jauh lagi kami tiba di negeri tujuan.
Saya lumayan terhibur dengan jawaban itu, sebenarnya. Tapi … apakah sama “tidak jauh” di lidahnya dengan yang ada di kepala seseorang yang kelelahan seperti saya? Saya tak ingin memperpanjangnya.
Kami melanjutkan perjalanan. Kami lebih banyak diam. Benar. Seharusnya kami mengawali hari ini lebih pagi.
Bang Reimon kembali menepi ke semacam pos ronda. Ia berbicara dengan seorang laki-laki berkopiah. Kopiah? Tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Ini negeri muslimkah? Masjid, mana masjid?
“Kita di mana, Bang?” tanya saya ketika Bang Reimon sudah kembali memegang stir.
“Kita sudah sampai!” serunya.
Ya Allah. Mendengar itu, kerongkongan saya seperti dialiri air dingin setelah melintasi daerah tandus. Akhirnya ….
Bang Reimon mengarahkan motor ke kanan. Sebuah gapura kayu yang sudah tua manyambut kami. Kami memasuki jalan yang lumayan lebar untuk ukuran perkampungan. “Gapura itu pertanda kalau ada masjid di dalam kampung ini,” kata Bang Reimon seolah mengoreksi tebakan saya.
“Jadi bentengnya di dalam perkampungan, Bang?” tanya saya tak sabaran. Bagaimana mungkin ada benteng di tengah permukiman, batin saya tak percaya.
“Di seberang jalan di belakang kita ini bentengnya,” jawab Bang Remon santai.
Saya menoleh ke belakang dan … sebuah bukit mengonggok di sana. “Kita naik bukit, Bang?!” Saya benar-benar terkejut.
“Bukan bukit, cuma tanah tinggi.”
Baiklah. Terserah apa namanya. Saya menelan ludah. “Lalu mengapa kita malah ke arah berlawanan?” tanya saya cepat.
“Kita ketemu Baparaja dulu.”
Oh tiba-tiba saya malu sendiri dengan ketidaksabaran saya. Kami memasuki negeri yang jauh. Tak ada hal yang lebih layak dilakukan ‘tamu’ pertama kalinya selain memperkenalkan diri, mengutarakan maksud, lalu izin menyusuri lokasi tujuan. Ah, terimakasih, Bang Reimon, sudah memberi pelajaran ini.
Kini, saya memandangi pakaian yang saya kenakan. Celana selutut dan kemeja putih lengan panjang. Bukan! Saya bukan sedang menimbang kelayakan tampilan saya untuk bertemu Baparaja. Itu sudah telanjur! Mau bilang apa, saya tak bawa pakaian ganti. Semoga yang bersangkutan memaklumi, harap saya. Tapi ada hal yang lebih menganggu pikiran saya dengan tampilan ini: Naik bukit dengan celana pendek dan baju kemeja lengan panjang–warna putih pula!–membuat saya merasa lebih pas jadi pelawak ketimbang turis!
“Kenapa Bang Reimon tidak bilang kalau bentengnya ada di atas bukit?” tanya saya sedikit menggerutu.
“Tidak tinggi itu. Kakimu paling cuma digigit nyamuk. Baju putihmu juga buat kamu bagus kalau difoto.” Oh oh oh, ini bukan waktu yang tepat untuk melempar lelucon, Bang. Walaupun, ya walaupun, dari air mukanya tak tampak kalau beliau sedang bercanda. Ya, dia ada benarnya. Di dalam hutan nanti, kemeja putih ini akan membuat saya ‘lebih menyala’ ketika difoto. Oke, fine! Mari menghibur diri sendiri!
Tepat ketika kami akan memasuki halaman rumah baparaja, tiba-tiba saya menanyakan sesuatu yang seharusnya sejak awal saya dapatkan jawabannya. “Negeri ini apa namanya, Bang?”
“Hualoy!”*
Piru, 14-15 April 2018