Suatu hari, seorang peserta Bennyinstitute Writing Class (BWC) bercerita bahwa ia kerap kali menulis cerpen setelah mengikuti seminar, pelatihan, kelas menulis, atau sekadar kumpul-kumpul santai dengan teman, namun di saat yang sama ia juga mengeluhkan tentang nasib semua cerpennya: tak satu pun di muat!
Kemudian tanpa diminta ia menunjukkan dua cerpen terbaiknya. Saya pun membacanya dengan skimming. Saya perhatikan, apa-apa yang ditulisnya sudah sangat lengkap. Baik tentang informasi dasar sebuah cerita (5W + H) maupun dari caranya menyusun kalimat. Meskipun begitu, saya merasa ada yang ia ‘lewatkan’ tentang ‘kaidah’ menulis di media massa. Saya pun menanyakan beberapa pertanyaan dan memintanya menjawab cepat.
(Catatan: = Question, A = Answer S= Suggestion/Solution)
Q: Mengapa kamu menulis cerpen–seperti–itu? Kalau kamu memiliki lebih dari satu alasan, tidak apa?
A: Karena saya seminar/pelatihan/kelas menulis itu memotivasi saya untuk melakukannya. Selain, mungkin karena saya juga ingin berkeinginan menjadi penulis, termasuk cerpenis, seperti mereka.
S: Benar! Salah satu waktu menulis paling baik adalah ketika gairah menulismu terbakar. Sekali kau mengabaikannya, saat itu juga kau sedang menuang air di nyalanya.
Q: Kamu menyukai tema itu? Kamu menulisnya dengan perasaan senang?
A: Hmm, saya tidak terlalu memerhatikannya.
S: Sebaiknya kita menulis sesuatu yang kita sukai atau yang kita kuasai. Ini perlu dipastikan. Apalagi bagi penulis pemula. Sebab hal itu akan sangat membantu kita dalam membangun kenyamanan menulis. Boleh-boleh saja keluar dari zona nyaman , apabila persiapan/risetmu cukup, apabila kamu sudah khatam atau benar-benar mampu menghasilkan karya yang baik dari sumber-daya-kegembiraan yang kamu miliki. Kalau tidak, jangan ambil risiko. Jangan menulis serampangan supaya dibilang eksperimental sehingga beroleh banyak perhatian. Jangan. Kau baru bisa membuat patung raksasa mahakarya kalau kemampuanmu menonjolkan anatomi tubuh makhluk hidup pada patung paling sederhana sekalipun, belum menuai pujian.
Q: Apa yang paling kauandalkan dalam menulis cerpen?
A: Imajinasi.
Q: Kamu banyak membaca? Buku apa yang kamu gemari?
A: Iya. Buku-buku fiksi.
Q: Sebanyak apa koleksi buku fiksimu?
A: Banyak. Banyak sekali.
S: Sejak lima tahun terakhir, jumlah koleksi nonfiksi saya melejit. Ini yang saya pegang; Bagi penulis fiksi, penting sekali banyak membaca nonfiksi agar dunia reka-reka yang ia hasilkan terbaca bernas, berisi, dan tidak sekadar permainan kata, sebagaimana penulis nonfiksi yanh disarankan banyak melahap buku fiksi supaya rumus/teori yang hendak ia
Kemukakan terbaca membumi bagi orang awam.
Q: Seberapa sering kamu membaca dan menulis?
A: Tidak sering. Sesekali saja. Itu pun kalau mood. Nenteng-nenteng buku, itu yang sering. Baca beberapa halaman, lalu teler, juga sering.
S: Hadeuh! Cuapek deh! Jangan bermimpi jadi penulis yang baik kalau baca dan nulis masih tergantung mood—sebiji makhluk yang wujudnya masih dipertanyakan! Sebagai pengarang yang bertanggungjawab moral bagi diri sendiri dan pembaca, menurut saya, kita harus kerap membaca dan menulis, sebab kita berurusan dengan mereka yang menganggap kita sebagai orang yang lebih tahu (segala hal lagi!). Walaupun pendapat itu salah, tapi jadikan saja lecutan agar isi kepala kita lebih kaya.
Di BWC saya pernah bilang begini: “Kalian tahu, ada 100 orang yang ingin jadi penulis, tapi hanya 20 yang suka, mau, dan berani memaksa dirinya untuk (terus) membaca. Dari 20 itu, hanya 1 atau 2 saja yang kelak akan jadi penulis!”
Membaca (buku) adalah aktivitas penyemaian kebun pengetahuan dan imajinasi di dalam diri seseorang. Intensitas membaca adalah pemeliharaan kebun itu. Kemampuan memecahkan persoalan adalah masa panen yang begitu membahagiakan. Ah, selintas lalu, kita bisa tahu apakah seseorang gemar membaca atau tidak dari kualitas ucapan/pernyataannya, bukan? Nah, perkara apakah ia ingin menjual atau membagi-bagikan saja hasil panennya ke pasar atau kepada para tetangga, itu adalah aktivitas menulis. Artinya, secara sederhananya, menulis adalah aktivitas turunan dari membaca. Jadi, membaca adalah aktivitas yang lebih intelektual dan spiritual dari menulis (Hmm, ingat kan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah Iqra! Alias Bacalah!).
Sesekali, dengan kasarnya saya akan keceplosan mengatakan ini pada peserta BWC yang tak menunjukkan kemajuan yang menggembirakan dengan naskahnya: Just forget your dream to be an author if u can’t create your own mood to read more!
Saya perlu memberi tekanan khusus pada create your own mood. Mengapa? Karena mood (baiklah, demi kemaslahatan umat saya memercayai keberadaan makhluk absurd ini) sebagian besar pemalas kerap menyamakannya dengan ilham dan wahyu seolah-olah mereka adalah reinkarnasi dewa atau nabi yang mulia.
Saya membahasakan mood sebagai kenyamanan untuk melakukan sesuatu. Nah, ciptakanlah keadaan nyaman itu oleh dirimu sendiri, dengan caramu sendiri. Kalau Anda merasa nyaman membaca/menulis di atas pelepah kelapa, di bawah lampu merah pada pukul 12 siang, atau di atas atap gedung lantai 5 di tengah hujan halilintar, lakukanlah. Jangan pernah percaya pada proses kreatif orang lain karena lingkungan, hobi, latar belakang, dan tentu saja keimanan dan warna favorit kita berbeda-beda.
Q: Mengapa tatabahasa dan tanda baca tulisanmu banyak yang salah?
A: Bukannya itu urusan editor/redaktur?
S: Hallo! Editor/Redaktur di penerbitan atau media massa tidak akan membaca semua naskah yang masuk dengan saksama. Biasanya mereka akan scanning, atau paling banter skimming (perbedaan scanning dan skimming bisa di-googling ya). Biasanya perangkat komputer mereka, selain dilengkapi dengan aplikasi spell-check, juga grammatical-check. Semakin banyak garis merah keriting di dalam artikel kita, semakin dengan senang hati Pak Redaktur/Bu Editor menekan tombol delete untuk file kita.
Jadi kalau nulis, harus didampingi KBBI setebal bantal ya?
Ah, tidak juga. Meskipun saya memiliki KBBI, saya jarang menggunakannya. Selain karena sudah ada KBBI daring, cara paling keren memahami tatakalimat yang baik adalah dengan sering-sering membaca buku dan surat kabar nasional (sepengamatan saya, banyak tulisan di surat kabar lokal masih ditulis dengan insting dan asal maksud sampai, bukan dengan ilmu EYD yang mumpuni). Jadi, ya balik lagi, more you read, easier you write (well).
Q: Kok rumusnya muter-muter pada sering-seringnya baca dan nulis sih? Kan yang kita bicarakan adalah cerpen, cerpen untuk dimuat media massa!
A: Ya, memang begitu. Mau nulis novel, cerpen, artikel, buku motivasi, puisi, atau bahkan skripsi, kita harus memiliki referensi yang kaya. Aktivitas menulis itu adalah simpulisasi apa-apa yang menetap di dalam kepala. Endapan dari proses membaca (buku) adalah memori yang bisa diperbaharui. Sebuah kenangan takkan bisa kembali, pengalaman takkan kembali lagi, percakapan yang lewat takkan bisa diulang …. tapi tidak dengan buku: bila lupa, kita bisa kembali membukanya, membacanya!
(Percakapan kami pun terbalik. Kini, dia yang bertanya dan saya yang menjawab).
Q: Jadi, apa yang ingin dicapai dari intensitas membaca dan menulis yang intensif itu?
A: Reading with no stopping. Writing with no thinking.
Menurut saya, membaca tanpa menjedanya (dengan sengaja dan tanpa halangan serius) dan menulis tanpa berpikir adalah kecakapan tertinggi dalam literasi.
Ya, membaca dan menulis yang baik adalah ketika ia berada dalam level yang sama dengan aktivitas menyalakan televisi, mengikat tali sepatu, makan ketika lapar, dan ke belakang ketika kebelet. Ya, semua aktivitas itu dilakukan tanpa ada ‘yang bisa menghentikan’ dan dilakukan ‘tanpa berpikir’ terlebih dahulu. Jadi, salah satu ciri ketidakmahiran dalam membaca dan menulis adalah ketika masih gemar berhenti membaca usai menamatkan bab pertama sebuah novel atau “gemar menekan tombol backspace berkali-kali” untuk menghasilkan paragraf pertama sebuah tulisan.
Q: Jadi menulis dan membaca itu harus punya jadwal?
A: Mengapa tidak! Kalau an employee works on schedule, an artist works on mood, maka orang-orang kreatif (saya juga mengategorikan pekerja sosial dan penulis masuk dalam kelompok ini) adalah perpaduan antara keduanya. Mereka membaca/menulis pada waktu dan keadaan yang nyaman. Jadi, mereka diperkenankan membuat jadwal bekerja yang akan menumbuhkan kenyamanan (mood). Apakah bisa? Tentu saja bisa, sebab jadwal membaca/menulis itu tidak dibuat oleh atasan, tapi oleh mereka sendiri!
BENNY ARNAS, pengarang dan editor saleh, penyayang, penyuka buah dan warna sekunder yang pemalu dan tidak narsis 🙂
Oleh Benny Arnas