Karya: Nadhilla Syafitri
Hari ini, seperti hari-hari yang telah berlalu. Aku berdiri di sini ditemani dengan suara tembakan serta suara-suara yang memekakkan telinga. Aku yakin, siapapun yang mendengarnya pasti akan ikut meringis pilu.
Aku, Adam, baru saja kemarin berumur 12 tahun, lahir dan tinggal di tanah Palestina. Sejak dahulu kami berusaha mempertahankan apa yang patut kami pertahankan dan berusaha bebas dari serangan mereka yang ingin merebutnya.
Aku … aku sangat ingin ikut melawan mereka yang menjajah kami, sejak dulu. Tapi, orang tuaku selalu melarang! Aku tahu, aku masih sangat kecil bahkan hampir sama kecilnya dengan selaras panjang yang dibawa mereka. Harusnya ini bukan perkara kecil atau besar, ini adalah perkara kebebasan kami bersama. Aku bukan lagi balita! Aku sudah berumur 12 tahun. Aku geram! Aku ingin bebas!
Suara memekakkan telinga itu kembali terdengar, lagi-dan-lagi. Kami bahkan tidak dapat mengistirahatkan tubuh karena sewaktu-waktu mereka dapat menyerang ketika kami tertidur.
Hari ini, aku hanya dapat bersembunyi, meringkuk, memeluk diri sembari melihat ayahku melawan mereka. Tiba-tiba saja, aku seakan disambar petir, mereka menodongkan senjata tepat di pelipis ayahku. Aku hendak berdiri, tapi … ibu segera menggenggam erat tanganku, dan menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya.
Dor …! Tepat di depan mataku, mereka melepas pelatuk itu, tanpa perasaan. Ayahku terkulai tidak berdaya, cairan merah terus mengalir dari pelipisnya. Seluruh tubuhku gemetar, suaraku tercekat, dan air mataku keluar tanpa kusadari.
Tolong katakan padaku, bagaimana aku tetap bersembunyi sedangkan ayahku berada di ambang kematian?!
Mereka pergi meninggalkan ayahku tanpa rasa bersalah. Sekarang, yang tertinggal hanya raga tanpa jiwa di dalamnya. Aku bersimpuh di depan raga yang telah kaku. Sekujur tubuhku masih gemetar dan air mataku keluar semakin deras. Tak hanya aku, kulihat bagaimana hancurnya ibu ketika meratapi jasad ayah.
Dua jam berlalu, aku masih berdiri di depan gundukan tanah merah—makam ayahku—dengan tangan yang terkepal menahan kristal bening yang hendak jatuh.
Saat itu, aku merasa ada yang menyentuh pundakku. Aku pun sedikit menoleh dan melihat seorang wanita yang kira-kira berumur 25 tahun ke atas, dengan perkiraan tinggi badan 160 cm dan berat badan yang tidak lebih dari 60 kg. Ia mengajakku untuk sedikit menjauh dari makam. Lalu, ia mulai memperkenalkan diri sebagai seorang relawan perang untuk membantu kami. Aku yang mendengar hal tersebut sedikit penasaran akan tugasnya dan ia pun tanpa ragu menjelaskannya.
Saat mendengar penjelasan darinya, aku mendapatkan sebuah pencerahan untuk dapat ikut melawan mereka dan membela serta membantu negeriku ini. Aku ingin ikut menjadi relawan muda. Sejak saat itu, aku mulai terlibat dalam kegiatan sosial dan penggalangan dana untuk membantu korban perang, serta dapat melindungi ibu, orangtuaku satu-satunya.
Sekarang, aku menyadari bahwa ada banyak cara untuk membantu dan membela negara selain berperang secara langsung. Meskipun tidak ikut berperang, aku merasa bangga dapat memberikan kontribusi positif bagi negeriku dan merasa lebih baik karena dapat membantu tanpa harus melakukan kekerasan.
Walaupun, entah kapan perang ini berakhir. Aku selalu berharap akan ada hari di mana apa yang selalu kami harapkan dikabulkan oleh yang Maha Mengetahui, Allah SWT.