Oleh Benny Arnas
Pertengahan Mei adalah gerbang kemarau di Indonesia. Suhu bisa mencapai 35 derajat celcius atau lebih. Tak terkecuali di Panca Mukti, sebuah desa asri di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sinar matahari yang menabrak pucuk-pucuk karet, rerumpun bambu, hamparan padi di sawah yang menghijau, bagai tak kuasa menciptakan terik. Sebaliknya, adicahaya itu malah membuat keindahan satu model desa toleransi terbaik di Indonesia itu makin tak terelakkan.
Desa Jawa Berkades Jawa
Desa seluas 234 hektar itu memberi perhatian lebih pada kerukunan dalam keanekaragaman sehingga, alih-alih mendapatkan diskriminasi, minoritas justru diperlakukan secara “istimewa” di sini. Ya, atas pertimbangan keadilan bagi orang-orang Jawa dari lima daerah berbeda—Banyumas, Kudus, Magelang, Pati, dan Semarang—yang mendiami desa ini, Panca Mukti memilih kepala desa yang bukan berasal dari Jawa. Termasuk kades yang sedang menjabat, Randi, S. Sos., yang berdarah Pagaralam, Sumatra Selatan.
“Ini merupakan keputusan masyarakat Panca Mukti yang, selain harus saya hormati, juga menjadi amanah besar agar saya memenuhi harapan mereka untuk berlaku adil,” kata kades yang belum genap berusia 40 tahun itu dalam sebuah wawancara selama program Seniman Mengajar yang penulis ikuti (Agustu—September 2017). “Semua staf saya orang Jawa. Mereka adalah perwakilan lima daerah asal transmigran. Hamdalah, semua keputusan dan program berhasil kita jalankan melalui musyawarah.”
Dalam bidang kebudayaan, kades Panca Mukti juga mengimbau masyarakat untuk berakulturasi dan beradaptasi dengan budaya Melayu Bengkulu yang kental. Oleh karena itu pula, Tari Sekapur Sirih yang merupakan tari tradisional penyambutan tamu Bengkulu selalu ditampilkan di pembukaan acara apa pun di Panca Mukti, sebelum kesenian-kesenian lain yang mencerminkan identitas sosial penduduknya unjuk kemampuan.
Sejak 1980-an, Panca Mukti sejatinya sudah menjelma sebagai desa Jawa yang menjunjung tinggi kebhinekaan dan mendukung segala bentuk kebudayaan. Ya, kini, selain suku Melayu, orang-orang berdarah Batak, Sulawesi, Kalimantan, dan lain-lain menjadi bagian tak terpisahkan dari desa berpenduduk 1.392 jiwa ini. Hal ini juga terjadi pada keragaman agama dan ideologi kebangsaan yang lestari dan subur di Panca Mukti—yang di tempat lain kerap menjadi sumbu perpecahan.
Kantung-kantung kebudayaan dan komunitas pemuda lintas-suku berkembang dengan baik. Kesenian gamelan, jaranan, hadroh, rebana, nasyid, band, teater daerah, batik tulis Melayu, dan musik bambu tak pernah sepi peminat dan penonton. Geliat kebudayaan itu membuat Panca Mukti memproduksi setidaknya 400 kegiatan budaya lintas genre, lintas etnis, lintas kreativitas, tiap tahunnya. Bahkan, di tahun pagebluk 2020, Panca Mukti mencatatkan 418 kegiatan kebudayaan di arena terbuka. Ya, pandemi justru membuat mereka kreatif bersiasat agar makin banyak kegiatan yang menerbitkan perasaan gembira terselenggara. “Bagi kami, virus korona yang menakutkan harus dihadapi dengan kegembiraan yang sesuai aturan,” kata Suratmi (70), ketua perkumpulan lansia desa Panca Mukti. Suratmi mengatakan hal itu karena lansia tetap beraktivitas di alun-alun balai desa yang terbuka untuk berolahraga dalam jarak yang terjaga. “Kuncinya patuhi prokes, hamdalah tidak banyak yang berubah,” katanya yakin.
Bagaimana masyarakat Panca Mukti, tak terkecuali para lansia, bisa terap “bergerak” di masa pandemi, sejatinya tak terlepas dari geliat kebudayaan yang ditangani dengan cinta (baca: serius). Sejarah telah mencatat: pada 2017, Sanggar Seni Budaya Panca Mukti dipilih menjadi salah satu tuan rumah penyelenggaraan Seniman Mengajar Gelombang II, program Kemendikbud yang menghadirkan seniman-seniman lintas-genre berkapasitas nasional untuk membangun kesenian di kawasan 3T di Indonesia. Tak berhenti sampai di sana, Direktorat Kesenian juga memberikan hibah kebudayaan setahun berikutnya sehingga Panca Mukti menjadi tuan rumah lokakarya kesenian se-provinsi Bengkulu tahun 2018. Bayangkan, desa Jawa menjadi mesin kebudayaan provinsi Melayu seperti Bengkulu! Kalau bukan karena desa ini terkenal dengan keramahannya menyambut tamu dan tepa selira yang lestari, apa lagi?
Tapi, perjalanan Panca Mukti bisa menjadi desa budaya yang toleran tidak turun dari langit. Panca Mukti justru lahir dari kisah kelam yang penuh air mata.
Bermula dari Hutan Rawa-rawa
Tahun 1973, 290 penduduk asal Jawa menyambangi hutan rawa-rawa di Bengkulu Bagian Tengah di bawah program pemerataan penduduk bernama Transmigrasi. Rimba tanpa nama itu adalah neraka bagi para pendatang yang buta medan Sumatra. Mereka datang dengan pengharapan tinggi: memperbaiki kehidupan dengan fasilitas yang dijanjikan pemerintah. Kenyataannya: jauh panggang dari api!
Sutini (88) mengatakan bahwa iming-iming rumah dengan lahan subur yang luas, tunjangan sembako, dan akses mudah ke keramaian, tinggal janji. Di hamparan pohon-pohon besar tak bernama, wilayah yang mereka datangi benar-benar tanpa penerangan, tanpa pembangunan, dan penuh nyamuk hutan nan mematikan di pelosok Bengkulu. “Kami “dipaksa” hidup hanya dengan jatah bulanan hanya satu kilogram beras per kepala dan kayu-kayu seadanya untuk mendirikan pondok,” lanjut perempuan bercucu dua belas itu. “Sementara itu, pasar terdekat baru bisa diakses setelah menempuh dua puluh lima kilometer berjalan kaki dengan medan hutan belantara dan rawa-rawa. Tapi, leluhur kami tak punya pilihan.”
Kakek-nenek atau orangtua kami bertahan hidup dengan menanam singkong dan mencari buah atau tumbuhan hutan yang bisa dimakan. Untuk sekadar membeli minyak tanah agar lampu teplok bisa menerangi pondok, mereka berjualan tapai, tiwul, atau olahan ubi kayu lainnya ke pasar nun jauh di utara.
“Karena lingkungan masih berupa rawa-rawa, tak keruan kali dagangan kami nyemplung di lumpur hidup dalam perjalanan,” terang Saudi (82) menceritakan kerasnya kehidupan waktu itu.
“Bahkan,” kali ini Marjo (83) menimpali, “lebih tiga puluh lansia yang ikut serta meninggal. Sebagian meninggal dalam perjalanan. Sebagian lagi meregang nyawa digigit nyamuk hutan,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Tapi, selalu ada pelita di ujung gua kegelapan. Kerasnya kehidupan membuat orang-orang Jawa dari daerah yang berbeda itu bahu-membahu saling membantu. Tak sampai dua tahun, ubi jalar, mentimun, kentang, tomat, dan aneka tanaman lain menunjukkan hasil. Kehidupan mulai bergeliat. Mereka mulai menciptakan pasar pekanan. Tentu saja pemerintah senang karena program transmigrasi mencapai berhasil. Tapi, para transmigran tak memedulikannya. Kehidupan harus berjalan, badan harus sehat dan kuat, dan lahan pertanian harus digarap … hanya itu yang ada dalam pikiran.
Keadaan yang pelan-pelan membaik itu menyulut mereka memberi tanda pada tempat bermukim. Musyawarah di alun-alun timur menghasilkan keputusan bahwa tempat tinggal mereka, meski kurang dari 60 kepala keluarga, harus memiliki status administratif.
“Karena berada di bawah wilayah kabupaten Bengkulu Tengah, kami pun menyebut permukiman kami sebagai desa. Sebagaimana tempat kami berasal, kami mengambil bahasa Jawa (baca: Sansekerta) sebagai nama desa,” kata Saudi (88) dengan suara parau.
“Penggunaan kata ‘Mukti’ yang berarti ‘kebebasan’ adalah upaya kami berdamai dengan masa lalu,” timpal Mursidi (79) dengan mata yang basah. “Kami harus melihat tanah yang kami tinggali ini sebagai karunia Tuhan yang memberikan kebebasan dan keluasan berpenghidupan.”
Napak Tilas Sejarah Langsung dari Sumbernya
Atas kenyataan bahwa 39 transmigran yang mendirikan Panca Mukti masih hidup hingga esai ini ditulis, desa ini adalah satu dari segelintir desa di Indonesia yang menawarkan wisata sejarah langsung dari sumbernya. Hal ini didukung oleh keterbukaan para pelaku sejarah yang masih hidup, meski tak satu pun dari mereka kuasa merampungkan kisah tanpa wajah yang dilinangi air mata.
Karena waktu akan terus bergasing sehingga jumlah sumber pertama itu akan berpulang pada akhirnya, tahun 2017, pemerintah desa Panca Mukti mendorong upaya pencatatan-ulang sekaligus pendemonstrasian sejarah untuk publik. Tahun itu, setelah melakukan riset dan wawancara komprehensif, saya merilis naskah lakon sejarah Panca Mukti Setelah Petang. Sengaja dipilih genre naskah drama menimbang buku itu akan lebih sering digunakan karena bisa dipentaskan oleh perkumpulan kesenian yang banyak terdapat di Panca Mukti dalam berbagai kesempatan. Demi legalitas dan lestarinya sejarah, buku itu juga sudah menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI, Perpusprov Bengkulu, Perpusda Bengkulu Tengah, sekolah-sekolah di Bengkulu, dan tentu saja Perpustakaan Desa Panca Mukti.
Dalam konteks keindonesiaan, tidak ada lokalitas desa paling baik, selain wajah Indonesia yang lebur dalam perbedaan, rukun dan kebhinekaan, produktif berkarya, dan tidak mengabaikan sejarah.
Panca Mukti, Bengkulu: Cam Ko Hah!
Indonesia yang kaya: Saksikan kami ada!
Panca Mukti, 17 Mei 2021