ABSTRACT
Swearing as an emotive language is used to express someone’s feeling. This expression which is used to swear has many kinds of form and reference. This research aims to describe the positive swearing expressions and their context in Bahasa Coel. The data of this research is taken from the direct utterances of the native speakers and to be recorded and the researcher’s intuition as the native speaker of Bahasa Coel. The positive swearing is resulted by containing politeness principle and by paying attention to the extra lingual context. When it meets the politeness principle, the swearing expression is called as positive swearing and vice versa.
keyword: swearing expression, positive swearing, bahasa Coel
Pendahuluan:
Dalam berkomunikasi sehari-hari, kita sering kali mengeluarkan kata-kata yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang ada. Kata-kata seperti ini dilabelkan sebagai kata-kata tabu dan ketika kata tersebut tidak memenuhi prinsip-prinsip kesopanan tuturan dalam suatu budaya maka kata tersebut dianggap kata-kata yang kasar. Kata-kata kasar ini terkadang dimuat dalam kata-kata makian. Makian yang merupakan kata kasar kebanyakan dianggap oleh orang sebagai kata yang negatif walaupun pada dasarnya kata-kata makian memuat perasaan penuturnya. Keadaan semacam ini pernah diungkapkan oleh Ljung (2011:01) yang menyatakan bahwa:
Swearing is emotive language: its main function is to reflect, or seem to reflect, the speaker’s feelings and attitudes.
makian merupakan bahasa emotif yang memuat perasaaan penuturnya, atau seolah-olah mencerminkan perasaan penutur dan juga sikap penuturnya. Kemudian tuturan emotif ini tanpa disadari mempunyai sisi positif yang tidak banyak orang ketahui. Makian ini mucul diseluruh bahasa, tak terkecuali bahasa Coel. Bahasa ini merupakan bahasa yang dituturkan oleh orang-orang suku lembak yang secara geografisnya berada di beberapa kabupaten dan kota di provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Salah satu kota di Sumatera Selatan yang terdapat penutur bahasa Coel-nya ialah kota Lubuklinggau. Dalam kesempatan ini, tuturan-tuturan makian yang dijadikan data dalam tulisan ini ialah makian yang dituturkan oleh remaja-remaja yang ada di Moneng Sepati kelurahan Taba Pingin Kecamatan Lubuklinggau Selatan 2. Remaja-remaja penutur bahasa Coel ini dianggap sebagai penutur yang paling produktif dalam menuturkan tuturan makian ini. Jenis kelamin juga turut menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas munculnya makian, dimana perempuan cenderung lebih sedikit menuturkan makian jika berbicara dengan laki-laki dibandingkan ketika mereka berbica sesama mereka para perempuan. Keadaan semacam ini juga pernah menjadi perhatian salah seoarng linguis yakni Gati (2014) dalam penelitiannya yang berjudul ‘The Use of Swear Words by Women: a study of single sex and mix conversations’. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa perempuan ketika berbicara dengan laki-laki akan menggunakan makian lebih sedikit dibandingkan jika mereka berbicara sesama gender. Selanjutnya, salah satu faktor sosial yang mempengaruhi munculnya makian dapat dilihat dari umurnya, dan remaja merupakan umur yang paling sering menuturkan makian. Selain umur, faktor yang juga mempunyai pengaruh terhadap munculnya tuturan makian ialah pendidikan. Mengenai faktor-faktor yang menandai suatu peristiwa tutur dapat dilihat pada pada pandangan yang disampaikan oleh Hymes (1973:54-62) yang di kenal dengan akronim SPEAKING (Setting & Scene, Participants, Ends, Act Sequence, Key, Instrumentaities, Norm of Interaction & Interpretation, dan Genre). Kemudian. makian yang merupakan kata-kata yang memuat kata tabu, juga mempunyai bentuk yang tak banyak berkembang atau beku (fixed expression), sehingga kata ini termasuk dalam kata yang tertutup. Begitu juga dengan makna yang termuat dalam kata-kata makian tidak lagi menghasilkan makna yang literal melainkan makna non-literal yang mana kaitannya sangat erat dengan metafora. Makna kata-kata makian ini dapat berupa makna yang positif atau negatif sesuai dengan konteks, faktor sosial yang mempengaruhi dan prinsip-prinsip kesopanan suatu tuturan. Namun dalam tulisan ini, tuturan makian dalam bahasa Coel akan ditinjau melalui tinjauan positifnya saja.
Pembahasan:
Suatu makian yang memuat prinsip kesopanan mempunyai makna yang positif, dan sebaliknya makian yang mempunyai makna negatif akan memuat prinsip ketidaksopanan. Menurut Jay & Janschewitz (2008: 270) bahwa makian dapat menjadi sopan ketika makian digunakan untuk menjaga hubungan sosial sebagaimana muka penutur menunjukkan keadaan yang bersahabat (as in the face building) dan sebaliknya akan menjadi tidak sopan ketika digunakan untuk menyerang seseorang, sebagaimana pada ancaman muka, tidak sopan ketika digunakan untuk membuli atau memperoleh kekuatan dan juga muka penutur tidak dalam keadaan bersahabat atau dalam keadaan mengancam lawan tutur (threatening face) (Beee via Jay & Janschewitz: 2008), ketika terjadi perbedaan pemahaman dan persepsi (prinsip) mengenai konsep kesopanan maka hal ini disebut kegagalan pragmatik “pragmatic failure” (Thomas via Jay & Janschewitz: 2008). Mengenai keadaan kegagalan pragmatik ini Jay dkk (2006) menyatakan bahwa seseorang akan menjadi lebih baik ketika seseorang mencurahkan emosi yang kuat di depan umum, sikap ini tidak dianggap suatu hal yang tidak sopan melainkan suatu ekspresi kartartik. Dalam menjelaskan kesopanan dan ketidaksopanan dalam makian juga perlu mengetahui hubungan dan faktor sosial yang mempengaruhi makian tersebut. Jay & Janschewitz (2008: 269) menyatakan bahwa ketika makian dianggap sebagai bentuk penyerangan tehadap pendengarnya, hal ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang sopan bagi sebagian penutur. Dalam menilai apakah makian di dalam sebuah wacana adalah sopan merupakan sesuatu hal yang sulit. Kesulitan tersebut yakni terletak dalam mempertimbangkan indentitas partisipan, hubungan penutur dan lawan tutur, norma-norma sosial, tujuan (niat) dan motivasi penutur. Hal positif inilah yang akan menjadi perhatian dan dasar dalam penelitian ini supaya dapat memberikan pemahaman yang lebih kepada penutur dan lawan tuturnya agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Salah satu tuturan makian tersebut ialah sebagai berikut:
Data 1:
De : Oi Belis, nak kemane?
Hi Iblis, mau kemana
Su : Col es, nak ningok nenekku harang
Tidak teman, ingin menjenguk nenekku sebentar
De : ao la, berekat la gecang, nilek Kana nunggu kite
Ok, Berangkalah cepat, nanti Kana menunggu kita
Tuturan di atas yang digaris bawahi merupakan tuturan makian yang dituturkna kepada lawan tuturnya dimaksudkan untuk sapaan yang sedikit tegas, dituturkan dengan nada yang tinggi dengan raut wajah yang santai dan sedikit senyuman. Tuturan makian yang ditujukan kepada lawan tutur dari penutur diatas bukan dimaksudkan untuk menyerang lawannya melainkan untuk menjaga keharmonisan diantara kedua partisipan. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari Crystal (1992: 60-61),
The function of swearing are complex. Most obviously, it is an outlet of frustation or pent-up emotion and means of releasing nervous energy after a sudden shock.it has also been credited with various social functions as a marker of group identity and solidarity, and as a way of expressing aggression without resort to violence.
menyatakan bahwa setidaknya ada dua fungsi utama yang sangat kompleks dalam makian, yakni digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan emosi dan sebagai penanda identitas dan solidaritas (keharmonisan dan kekompakan) dalam masyarakat sosial. Tuturan diatas sangat jelas menunjukkan adanya fungsi makian yakni untul penanda solidaritas dan identitas. Ketika tuturan ini digunakan untuk penanda solidaritas makan tuturan ini akan tergolong dalam makian yang positif. Tuturan makian positif yang dituturkan oleh penutur diatas juga dipengaruhi oleh hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur (partisipan). Keadaan ini berarti bahwa kedekatan antara kedua penutur itu juga perlu diperhatikan. Penutur dan lawan tuturnya merupakan sahabat dekat yang perjumpaan kedua penutur sangat intens, dan walaupun tuturan ini dituturkan di ruang publik tuturan semacam ini bukanlah suatu tuturan negatif, karena tuturan ini bukan dimaksudkan untuk menyerang lawan, melainkan hanya untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari lawan tutur dan menjaga harmoni sosial. Tuturan makian selanjutnya yakni:
Data 2:
De : wai kubu kak, sepatu barunya ye
wai Kubu ini, punya sepatu baru ya
Do: ao la es, mumpung murah harge a
Iya teman, kebetulan murah harganya
Makian pada data 2 merupakan makian yang referennya ialah suatu ras (suku) yang ada di Jambi. Hal ini yang ada dibenak penutur atau pengalaman penutur kata “kubu” cenderung mempunyai makna yang negatif, walau pada kenyataannya banyak orang hanya bisa menuturkan makian tanpa paham makna kata makian tersebut melainkan mereka hanya bias menuturkannya saja. Makna kata “kubu” diatas bukan lagi makna yang sebenarnya melainkan maknanya sudah non-literal, dimana makna kata ini ditujukan untuk mengungkapkan sesuatu yang positif. Makna positif ini digunakan untuk menyapa dengan tujuan untuk menjaga harmoni sosial diantara penutur dan lawan tutur. Tuturan ini dituturkan orang yang secara sosial mereka sudah akrab dan sesama remaja. Kemudian tuturan makian semacam ini sudah sering dituturkan oleh penutur sehingga dari manifestasi sikap ini merupakan suatu kebiasaan. Mengenai sikap seorang penutur yang mempunyai kecenderungan memaki ini, Hirsch (1985 :55-56) memberikan pendapatnya seperti berikut:
In the case of habitual swearing knowledge of the participants in the situation about each other’s speech habits can alter the interpretation of’ the words that would normally fall under a Content-Function category. If a person habitually puts “fuck” or “fucking” into almost every utterance then anyone who knows this has a tendency to ignore these expressions when assigning the utterances a Speech Act interpretation.
Sesuai dengan tuturan pada data 2 diatas, pendapat dari Hirsh (1985) sangat berhubungan erat dengan peristiwa tutur tersebut, dimana memaki ini yang sudah menjadi kebiasaan penutur sangat sering diabaikan oleh lawan tuturnya. Keadaan ini disebabkan oleh adanya kedekatan antara penutur dan lawan tutur, begitu juga lawan tuturnya sudah mengetahui sikap atau kebiasaan lawan tuturnya. Selanjutnya, perhatikan tuturan pembanding berikut:
Data 3:
A: belisnya nga kak, beyo la utang tu, la lamenya hetu ni
Iblis kau, bayarlah hutang itu, sudah lama itu.
B: ku lum ade sen yuk
Saya belum ada uang kak.
Dalam data 3 diatas, dapat dilihat bahwa kata makian yang mucul sama dengan kata makian pada data 3 yaitu “belis”. Secara makna kata “belis” mempunyai makna yang non-literal dimana maknanya bukan iblis yang sebenarnya. Maknanya berarti sifat yang dimiliki oleh lawan tutur dianggap sama layaknya sikap seorang iblis yang karakternya dianggap karakter yang buruk. Makian pada data 3 juga dituturkan untuk menyerang lawan tutur sehingga tidak berfungsi untuk membangun harmoni sosial. Konteks tuturan makian ini ialah tuturan yang berfungsi secara emotif untuk mengungkapkan rasa kesal atau marah kepada lawan tuturnya dikarenakan lawan tutur yang belum mampu membayar hutang. Tuturan ini juga dituturkan dengan nada yang tinggi dan dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
Kesimpulan:
Dari pemaparan diatas, makian dapat dikatakan sebagai kata yang tidak hanya memuat fungsi negatif saja melainkan juga memuat fungsi yang positif yang tercermin dalam fungsi emotif sebagai curahan perasaan penutur kepada lawan tuturnya untuk pengungkap keintiman. Bagi orang yang ingin memberikan interprestasi mengenai suatu makian dalam suatu peristiwa tutur perlu memperhatikan konteks suatu peristiwa tutur. Bahasa Coel yang juga memuat berbagai macam makian dengan berbagai macam referennya juga dibatasi oleh konteks. Intuisi yang kuat dari pemilik bahasa sangat penting untuk memahami suatu tuturan makian, karena ada banyak faktor-faktor yang harus dipahamai oleh orang-orang lain supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam berbahasa.
Daftar Pustaka:
Crystal, David. 1987. The cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Gati, Pia. 2014. The Use of Swear Words by Women: a Study of Single Sex and Mix Conversations. Sweden: Halmstad University.
Hirsch, Robert. 1985. Taxonomies of Swearing: Perspectives on Swearing. Swedia. Gothernburg University, Dep. of Linguistics.
Hymes, Dell. 1973. Foundations in Sociolinguitics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania.
Jay, Timothy B, dan Kristin Janschewitz. 2006S. Swearing with Friends and Enemies in Hogh and Low Places. Invited paper at Linguistic Impoliteness and Rudeness: Confrontation and Conflict in Discourse Conference.University of Huddersfield, UK.
Ljung, Magnus. 2011. Swearing: A Cross-Cultural Linguistics Study. Great Britain: CPI antony.
Biodata penulis:
Muhammad Yazir, seorang pemuda yang lahir di Lubuklinggau, 09 Oktober 1991 silam ini telah menyelesaikan strata-2 nya di Universitas Gadjah Mada untuk program studi Linguistik. Sejumlah pelatihan pun telah Ia ikuti, seperti pelatihan BIPA, pelatihan profesionalisme guru dan sebagainya. Pribadi satu ini juga pernah meraih beasiswa sewaktu kuliah, seperti beasiswa prestasi dan beasiswa unggulan. Selanjutnya beliau pernah menjadi pembantu penerbitan dua buku akademik dengan judul ‘language and the media (2017) dan juga ‘language and variation: register, sociolect, and dialect (2017). Selain itu, Ia juga pernah menerbitkan beberapa karya ilmiahnya yg berjudul ‘ Reduplikasi dalam bahasa Coel (2016) dan juga ‘the derivational process of Noun in Jakarta post’ (2015). Beliau juga pernah menjadi salah satu asisten peneliti salah satu dosen di Departemen Antar Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (2017) yang kala itu meneliti tentang ‘peminjaman unsur bahasa asing dalam nama diri generasi Indonesia. Saat ini, beliau disibukkan dengan mengajar, sebagai salah satu pengurus dewan kesenian Lubuklinggau komite sastra, menulis, dan kegiatan kepemudaan.
*Esai pemantik diskusi di atas kemungkinan besar akan direvisi sesuai bentuk terbaiknya ketika akan dibukukan dalam Bunga Rampai Esai Lingkaran kelak.