Ah, masih teringat jelas di pikiranku. Tentang satu sosok perempuan itu, perempuan yang aku cinta sepenuh hati. Dia bagai embun di pagi hari, menyejukkan dan menenangkan. Dia selalu lembut , dia sehalus itu, untuk diriku yang begitu keras hatinya.
Masa kecilku yang indah, yang penuh dengan warna, masa mudaku yang selalu ada dia. Dia begitu lekat di hidupku. Aku membutuhkannya melebihi diriku sendiri, sebab ia mencintaiku melebihi dirinya sendiri.
Dia lah sosok ibu, seseorang yang hatinya melekat denganku, seseorang yang jantungnya paling dekat denganku, seseorang yang darahnya mengalir di tubuhku. Aku senang mewarisi banyak hal darinya. Dia terlalu berarti.
Masa-masa indah kami, tidak akan pernah kulupakan, tentang manjanya aku, tentang sikap bocahku yang tak gampang menyulut amarahnya, tentang tanganku yang selalu berada dalam genggamannya.
Namun ternyata, tidak semua hal indah selalu terwujud, tidak ada mata yang bisa menatap dengan kekal, tidak semua bentuk kasih sayang tetap bertahan, walau aku tau cintanya tetap abadi meski tanpa ku sentuh. Yaa, ibu telah pergi mendahuluiku.
Sungguh ingin ku protes terhadap waktu, namun kata-kata apa yang paling tepat? Hingga dengan kejamnya merenggut ia dariku.
Sungguh ibu, aku benci bertambah usia, saat kehilanganmu adalah hal paling terberat dalam hidupku. Terlampau berat, hingga aku tak yakin apakah aku sanggup? Masih segar di ingatan, tahun lalu. Saat nafasmu benar-benar hilang tak bersisa, saat tidak ada lagi denyut itu berdetak, saat tubuhmu mulai dingin.
Aku merasa langitku runtuh, lemas tak bertulang, air mata tak sanggup keluar lagi. Hari demi hari, yang bisa aku lakukan hanya tidur dan tidur, aku mencarimu di mimpiku, karena hanya lewat mimpi aku bisa memelukmu.
Ibu, terima kasih untuk 25th yang sungguh berharga. Meski aku tau kau mengenalku jauh sebelum itu. Tapi aku sungguh beruntung punya ibu, ibu melengkapi sesempurna ini. Ibu menggenggam nestapaku erat. Ibu, kau tak tergantikan
Tenang disana ibu, doaku tak putus untukmu. Sampai bertemu lagi.