Karya: Dea Permata Saputri
Ghea menatap bayangannya di cermin. Seorang remaja cantik berusia 21 tahun dengan rambut panjang bergelombang dan mata yang jernih. Namun, di balik penampilannya yang mempesona, tersimpan sebuah luka yang tak kasat mata.
“Kapan rasa sakit ini akan berakhir?” gumamnya pilu.
Ghea sangat ingin didengar tentang rasa sakitnya. Ia ingin seseorang memahami apa yang tengah ia alami, memberikan sandaran ketika ia terjatuh. Tetapi, siapa yang akan mendengarkannya?
Ghea terus mencoba mencari jati dirinya, berharap dengan mengenal dirinya sendiri, ia dapat menemukan cara untuk mengungkapkan perasaannya kepada orang lain.
“Aku ini sebenarnya seperti apa?” tanyanya pada diri sendiri di depan cermin dengan senyum miris dan mata berkaca-kaca.
Ghea kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya. Kata-kata tercekat di tenggorokannya, seolah ada dinding tebal yang memisahkannya dari dunia luar.
“Aku harus bisa mengatakannya!” Ghea memberi semangat pada dirinya sendiri.
Ghea terus berjuang demi bisa memahami dirinya sendiri, menelusuri setiap liku hatinya yang gelap. Namun, semakin ia mencoba, semakin ia merasa tersesat.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi?!” isaknya putus asa.
Perlahan, Ghea mulai kehilangan arah. Harapannya mulai pudar dan kegelapan semakin mendekat. Mata sendunya masih berkaca-kaca dengan bentukan muka tanpa semangat. Ia tampak lelah, seakan seluruh tenaganya telah terkuras habis. Namun, di saat ia merasa putus asa, sebuah cahaya kecil menembus kegelapan hatinya.
“Aku harus bangkit!” ucapnya pada diri sendiri dengan tersenyum tipis pada pantulan dirinya sendiri.
Ghea melihat dirinya, melihat perjuangannya selama ini, dan ia memutuskan untuk berjuang lagi. Ia berusaha menjadi dirinya sendiri tanpa takut dihakimi. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng yang ia kenakan.
Pada suatu hari, Ghea bertemu seorang teman baru di kelasnya.
“Hei, kamu baik-baik saja?” tanya teman barunya dengan raut wajah khawatir.
Ghea memberanikan diri untuk membuka hatinya, “Sebenarnya, aku sedang mengalami masa-masa sulit.” Ia tertunduk namun tetap berusaha tersenyum.
Teman barunya membalas dengan senyuman lembut, “Aku akan mendengarkan.”
Ghea berusaha membuka diri, bercerita panjang pada temannya yang sudah membukakan pintu hati untuknya. Ghea merasa menemukan teman yang ia dambakan. Seseorang yang mau mendengarkan, memahami, dan menerima dirinya apa adanya.
Sekarang, Ghea menemukan kekuatan untuk bangkit dari kegelapan yang selama ini membelenggunya. Ia belajar, jatuh dan terpuruk bukanlah suatu bencana, namun itu adalah titik untuk menjadikan diri lebih baik lagi.