Sebelum ke Hallstatt dari Salzburg, saya dan Ethile sudah berdebat perihal tujuan berikutnya. Bukan karena satu atau dua tempat tujuan yang tidak dia setujui, tapi tentang lagaknya yang menyerahkan segalanya pada saya.
“Saya diamanahkan perusahaan mendampingimu sampai selesai. Mulanya hanya di Prancis dan Jerman, sebelum kemudian kamu memintanya menjadi banyak sekali negara, dan … saya kebingungan dengan rikuesmu,” ujar Ethile seperti mengeluh. “Satu lagi. I have no problem with Indra, but i am responsible on you, full! Apreciate me, please!”
Saya membuang muka. Saya memang lancang tentang mengajak Indra bergabung kemarin sebelum pemuda itu pamit balik ke Paris kemarin.
“Jadi, baiknya kamu tunjuk peta, saya ikuti kamu! Tapi plis jangan on the spot. Ini Eropa, bukan negerimu. Sorry.”
Saya diam.
Ethile membentang peta.
“Saya tetap ingin jalan darat. Dan … beberapa underrated place!”
“Point the place!”
“Slovenia!”
“Kenapa nggak ke Villach dulu?”
“Maksudmu ‘[kenapa] gak ke Villach dulu’ apa?”
Kenyaris-tersesatan kami kemarin sore ternyata masih menghantuinya, seakan-akan itu tanda alam kalau dia harus ke sana. Tapi dia! Ya, dia! Bukan saya! Dan ini perjalanan saya!
“Itu dekat dengan Ljubljana, tapi masih Austria,” lanjutnya dengan nada lebih pelan. “Country side!”
“Pernah ke Villach?”
Ethile menggeleng.
“Jadi?”
“Kalau kamu mau gila, jangan tanggunglah. Jadikan ini petualangan bersama. Biarkan saya menikmati juga kejutan-kejutan. Atau kamu masih nganggap saya pembantumu?”
Saya meneguk liur. Merasa bersalah. Dia sudah begitu baik sampai titik ini. Kalau sampai dia marah, tentu ada yang salah dengan apa yang coba saya sampaikan. Tidak, saya tidak khawatir kalau ia akan menelantarkan saya di Salzburg ini atau di Hallstatt nantinya. Saya khawatir marahnya berkepanjangan dan semuanya tidak akan asyik lagi. “Oukay!” ujar saya seperti menyepakati sesuatu, meskipun saya menolak terlihat “kalah”. “Ke sini!”
Dia melihat titik yang saya tunjuk di peta yang terbentang di atas meja.
Traunkirchen.
Menyebutnya saja saya susah. Tapi … yaaa saya memilihnya. “Saya mimpi ke sana malam tadi. Kamu belum pernah ke sana, kan?” ujar saya dengan nada angkuh.
“Tentu saja belum.” Keningnya berkerut tiga. “Hallstatt kamu batalkan?”
Saya menggeleng. “Dapatkan ini, tanpa men-delete Hallstatt!”
“Kamu mau selfiean di Traunkirchen, Pujangga?”
Saya menggeleng. “Saya mau keliling desa itu. Tak satu foto yang ada sayanya saya izinkan kamu mengambil, tapi jangan juga foto-fotonya disangka orang ngambil dari Goolgle. Saya mau lebih tawaduk sekarang. #silakanmuntah.”
Ethile tertawa. “Love you, Benn!”
“Thanks, Ethile.”
“Bagaimana setelah Hallstatt?”
“Ljubljana!”
“What?”
“Yeah, Slovenia!”
“Di sana saya mau menulis.”
“Selama ini kamu juga mengetik di iphone-mu, kan?”
“Saya ingin mengetik di laptop.”
“Tapi kamu …”
“Itulah tugasmu, Ethile. Carikan saya laptop.”
“Ada lagi?”
“Pesankan tiket kereta, hotel, dan bereskan segalanya sekarang. Saya mau masak nasi dulu. Mau saya masakkan lebih? Rice cooker di sini bisa memasak untuk kita berdua.”
“No, thanks!” Ethile menghilang ke balik pintu.
Saya membuka koper. Mengeluarkan sangu yang sudah menggoda selera sejak kemarin-kemarin. Sejak di Paris, saya cuma makan roti, roti, dan nasi dalam bentuk risoto—yang membuat saya merasa disulap jadi bayi yang sedang belajar makan bubur. Satu kotak rendang buatan Mak dan sambal tempe kering buatan istri meriapkan perasaan yang lain, yang sukar saya pahami. Ah, petualangan yang baru dimulai. Ah, kelengangan yang tiba-tiba beranak di kejauhan.
Rindu.
Ya, rindu.***
Villach, 16 April 2018.
NB:
-Bagaimana tiba-tiba saya menulis catatan ini di pagi bersalju tipis di Villach. Cerita berikutnya saya janjikan lebih seru.
-Foto-foto desa Traunkirchen yang sejuk nan mistis.