Beberapa hari sebelum hari minggu, saya ingat betul bahwa saya kala itu sedang merasa begitu gamang. Saya tidak terima kenyataan bahwa frekuensi membaca buku saya telah menurun sangat signifikan. Pada dasarnya pada kurun waktu entah-sejak-kapan hingga sekarang saya masih membaca, namun bukan buku melainkan artikel-artikel daring yang saya sempat-sempatkan membaca dikala sebelum tidur malam. Namun apakah itu sebenarnya sama saja, membaca buku dan membaca artikel daring? Toh sama-sama membaca, bukan?
Masalahnya adalah ketika saya adalah seseorang yang sedang harus mengkampanyekan gerakan “ayo baca buku” melalui platform TBM. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak membaca buku menyuruh orang lain untuk membaca buku? Saya tinggal bersama adik-adik saya yang tentu saja sengaja atau tidak sengaja akan menjadi pengamat tiap apapun yang saya kerjakan. Ini pasti akrab di telinga para praktisi pendidikan bahwa di dalam proses pendidikan yang utama itu bukan memberi perintah namun memberi contoh. Dan saya merasa gagal di sana. Meskipun saya sedang membaca, namun saya tidak yakin bahwa di dalam pikiran mereka, saya itu sedang membaca. Pandangan mereka sebenarnya sama ketika saya melihat diri saya sendiri melalui cermin. Yang terlihat di sana hanyalah seseorang yang bermain dengan gawainya. Seseorang yang sedang membaca atau yang sedang menonton youtube atau yang sedang bermain game atau yang sedang bermedsos ria akan terlihat sama saja.
Saya sedang menimbang-nimbang bahwa apakah saya harusnya menyerah saja. Toh, memangnya apa pentingnya membaca? Orang tak lantas kaya dengan membaca. Lagipula perubahan macam apa yang saya harapkan dengan menyuruh orang membaca satu buku? Juga anak-anak itu yang tampaknya membaca apakah mereka memang benar-benar telah membaca? Tidakkah itu mungkin hanyalah sebuah pencitraan saja agar terlihat “sedang membaca”? Dan sebagainya dan sebagainya. Pikiran-pikiran macam itulah yang bolak balik di kepala saya bagai setrika.
Sampai di fase itu saya ingin kembali ke titik nol, mencari tahu apa yang membuat saya memulainya. Saya membaca tulisan-tulisan lawas saya tentang TBM dan menonton tayangan-tayangan yang saya buat di awal-awal saya mendirikannya. Hal yang saya dapatkan ketika itu adalah bahwa ada sebuah dendam masa lalu di dalam diri saya tentang betapa tidak berdayanya saya dulu di masa sekolah dasar. Saya ingat dulu saya pernah mengintip dari jendela buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Ruangan yang katanya perpustakaan sekolah itu tidak pernah dibuka untuk umum. Saya yang dulunya begitu haus akan bacaan hanya harus merasa puas dengan mengintipnya saja tanpa pernah diizinkan untuk meminjamnya. Berangkat dari itu, sejak dua tahun yang lalu dengan pikiran yang sederhana saja bahwa saya ingin anak-anak bisa membaca sepuas yang mereka mau, saya bersama rekan menginisiasi TBM. Buku-buku itu tidak perlu dicari susah-susah, ia bisa dipinjam secara gratis dengan hanya satu persyaratan wajib tak tertulis yakni dikembalikan. Tidak ada pemaksaan dan tidak ada pencatatan administrasi yang layak untuk itu. Sebab yang pertama saya tidak punya waktu untuk itu dan lagi saya tidak ingin repot-repot memikirkan berapa banyak buku yang tidak pernah kembali lagi.
Ketika sedang memikirkan itu, saya dikirimi tulisan yang berjudul “Menjadi Ceruk Lebar-tanpa Dasar-dengan Saringan di Atasnya”. Sebuah tulisan yang menguraikan bagaimana sastra merespon revolusi 4.0, ditulis oleh Benny Arnas. Tulisan itu hendak kami diskusikan dalam kegiatan klub buku yang kami inisiasi pada akhir pekan kemarin, tepatnya minggu, 20 Januari 2019.
Tulisannya ditulis dengan pertama-tama menjelaskan sejarah perkembangan revolusi dari revolusi 1.0 hingga revolusi 4.0 dan dengan disertai bagaimana pengaruhnya terhadap dunia sastra. Lalu setelah itu ia memberikan pandangannya tentang konsekuensi hipotetis revolusi 4.0 dimana ada kemungkinan bahwa mesin-mesin kecerdasan buatan akan mengganti banyak peran manusia termasuk dibidang kepenulisan. Peran sastrawan mungkin akan tergantikan. Pada mulanya terdengar sangat ironis namun Benny Arnas atau yang akrab kami panggil Bang ben memberikan titik balik dimana ia mengajukan pernyataan yang sedikit mengandung kelakar, yakni sastrawan yang bagaimana yang akan tergantikan? Sastrawan (baru) yang malas yang tidak mampu merespon zaman dan yang menuhankan pasar sebagai landasan berkaryanya-lah yang akan punah dan angslup di atas kedangkalan. Mereka hilang sebab karya-karyanya tidak memiliki kekuatan, tidak memiliki genuity sehingga gampang direplikasi atau dimodifikasi oleh kecerdasan buatan.
Lalu Bang ben juga menjelaskan bahwa sastra hari ini sebagian besar diakses oleh generasi revolusi 3.0 yang masih memiliki tradisi bergaul dengan buku fisik. Sementara generasi revolusi 4.0 yang paling berpotensi untuk menjelma Ceruk Lebar-tanpa Dasar-tanpa Saringan yang menerima apa saja, bahkan ketika sampah dan kotoran peradaban saja yang dibuang ke dalamnya.
Sampai di titik ini saya merasa terhenyak. Apa kabar generasi revolusi 4.0 yang akan menghadapi tantangan 10 hingga 20 tahun mendatang dengan tanpa bekal literasi. Hari ini mereka hidup di tengah arus internet yang tak mengenal ruang dan waktu. Ada banyak distraktor-distraktor seperti televisi, game, sosial media dan lain-lain yang membuat membaca buku itu tidaklah lagi menjadi sebuah aktivitas yang menarik.
Apa kabar sekolah, apa kabar rumah? Generasi yang sempat hidup di revolusi 3.0 yang katanya sempat bergaul dengan buku fisik pun barangkali juga sedang sibuk merespon perkembangan zaman dengan “tidak mau ketinggalan”. Update status sebanyak mungkin, chatingan di whatsapp, terkesima dengan tontonan youtube, bermain game sesering-seringnya dan barangkali sedang ada yang mengantri tidak sabar di konter untuk mengisi kuota internet.
Sekolah dan rumah menjadi saksi bagaimana teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Guru dan siswa tidak lagi bercengkrama seakrab dahulu sebab ruang guru dan ruang kelas siswa kini memiliki dinding yang lebih tebal yang bernama ketidakpedulian. Ayah, ibu dan anak-anak ada di ruangnya masing-masing, asyik dengan gawainya sendiri. Dan apa kabar buku fisik? Ia semata adalah pajangan di ruang kerja, di ruang perpustakaan sekolah dan bahkan di pojok-pojok baca. Ia hanyalah pemanis ruangan yang ada atau tidak adanya ia, tidak ada yang peduli.
Maka tidak akan ada tradisi baca yang diturunkan secara estafet oleh generasi lama ke generasi baru jika generasi lama hanya sibuk dengan pesona teknologi saat ini dan generasi baru—yah kita pun tahu—mereka tidak punya pilihan lain selain hanya mengikutinya saja.
Lalu, apakah buku-buku fisik di TBM itu pun juga segera akan menjadi pajangan-pajangan saja?
Saya sepakat dengan apa yang dituliskan Bang Ben di akhir tulisannya bahwa para orang tua dan termasuk saya sebaiknya merevisi doa yang kerap kami ajukan bakda shalat—Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak-anak yang saleh dan saliha—menjadi Ya Allah, jadikanlah kami orang tua yang saleh dan saliha.
Sebab anak-anak tidak akan saleh dan saliha jika orang tuanya tidak saleh dan saliha. Dan adik-adik saya tidak akan cinta baca buku jika saya tidak menunjukkan rasa cinta baca buku. Sampai di sini, saya sadar bahwa perjuangan saya belum selesai. Perjuangan yang mana? Bukan hanya untuk muluk-muluk menciptakan generasi Ceruk Lebar-tanpa Dasar-dengan Saringan di Atasnya namun juga untuk selalu istikomah menjadi generasi Ceruk Lebar-tanpa Dasar-dengan Saringan di Atasnya.
Di titik ini saya merasa benar-benar harus pergi ke diskusi pertama klub buku kami yang berlokasi di Benny Institute pada Pukul 16.00 di Minggu sore yang hangat 20 Januari 2019 itu. Saya ingin tahu bagaimana proses kreatif Bang Ben ketika menulis tulisan menarik ini dan menyimak bagaimana Yasir, Juli, Mimi dan Pran menyikapinya. Saya lapar bertukar pikiran, saya rindu diskusi dan saya ingin berjumpa dengan kawan-kawan yang juga punya rasa cinta yang sama dengan literasi.(*)
Ditulis oleh Yuhesti Mora.