GADIS KAMARIAN
(Hari ke-13 di Seram Bagian Barat)
Meskipun gelar doktor dari Universiteit Leiden hampir berada dalam genggaman gadis 29 tahun itu, ia tetap harus putar kaki!
Ketika kecil dulu ia sering melihat calon mempelai perempuan yang melaksanakan tradisi itu. Yang terakhir adalah kakak perempuannya yang hendak dipersunting laki-laki yang tak lain tak bukan adalah tetangga mereka sendiri yang saat itu sudah menjadi pengusaha sukses di Jakarta. Kakaknya itu meletakkan kaki di atas ketiga permukaan tungku, satu-satu, lamat-lamat, penuh khidmat. Dapat ia rasakan kegugupan melingkupi diri calon mempelai perempuan itu. Ketika kakinya sampai pada akhir prosesi itu–meletakkan telapak kakinya di abu perapian yang sudah dingin, ketegangan itu seperti terbang menembus langit rumah. Telah sah ia diterima menjadi bagian dari keluarga laki-laki!
Ia juga ingat, bagaimana kakak iparnya harus menjadi salwir di perhelatan-perhelatan adat. Awalnya ia tentu menyangsikan suami kakak perempuannya yang terpandang itu akan benar-benar diperlakukan sebagai ‘pelayan’ bagi ayah dan kakak laki-lakinya yang hanya seorang pekebun atau nelayan, tapi ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan bagaimana laki-laki itu menuangkan sopi ke gelas-gelas kosong di tangan anggota keluarganya itu, ia menghela napas beberapa kali.
Oh, di Negeri Kamarian tercintaku ini, siapa pun, apa pun, dari mana pun, ketika masuk ke lingkungan adat, harus menjunjung Bumi tempat ia berpijak, batinnya. Termasuk seorang pengusaha ternama yang menjadi salwir alias pelayan bagi ayah dan kakak-kakak iparnya yang lain karena status malamait, menantu laki-laki dalam adat Amalohy!
Rindu dan gugup kini beradu-dentam di dalam dadanya. Tiba-tiba segala hal beraroma Kamarian seperti berebutan mengisi sebuah ruang dalam dirinya yang selama ini jarang ia buka: kenangan.
Pada pukul 5 petang tiap akhir tahun, dengan mengenakan pakaian longgar berwarna hitam dan syal putih yang panjang, tiga tungku berkumpul di kediamannya. Tiga tungku adalah sebutan untuk aparat pemerintahan, pemuka masyarakat, dan pendeta, yang menjadi tritunggal dalam khazanah adat di Kamarian. Ini mirip dengan tritunggal adat di Minangkabau. Kalau Kamarian menyebutnya tiga tungku, Minangkabau menamainya agak lebih panjang: tiga tungku sejarangan.
Karena ayahnya adalah seorang baparaja, kepala negeri yang biasanya juga membawahi beberapa dusun, rumahnya ramai kalau ada acara-acara adat. Tak terkecuali di akhir tahun. Ya, tritunggal itu datang ke rumahnya tidak hanya diwakili oleh satu dua orang untuk tiap-tiap tungku, tapi bisa puluhan orang. Maka, ia pun biasanya akan ikut repot mempersiapkan segala hal terkait keramaian itu. Membentang tikar pandan, memungut daun kasbi, mengiris jantung pisang, atau membasuh rebung patong. Kadang ia berandai-andai, lebih enak menjadi rombongan aparat pemerintah dan guru-guru atau para pemuka adat atau para pendeta. Mereka tinggal datang, ngobrol dan tertawa, lalu menyantap hidangan yang dipersiapkan ibunya dan para sanak kerabat perempuan lainnya.
Tapi sebenarnya mereka tidak sekadar datang, ngobrol, dan makan sore. Mereka datang membawa nazar, semacam sumbangan yang dimasukkan ke dalam kotak kayu yang ia letakkan sejak siang harinya di dekat pintu masuk. Mereka menyebutnya peti nazar. Lagi pula, mereka tidak serta-merta melahap hidangan. Mereka akan mendengarkan arahan dari petinggi ketiga tungku terlebih dahulu, meskipun biasanya yang bicara hanya baparaja alias ayahnya. Atau kalaupun ada lagi yang memberi pengarahan, ia adalah pendeta. Pemuka adat seperti selalu yakin kalau suaranya sudah terwakili oleh kedua tungku ini.
Selesai makan, mereka lalu berdoa bersama. Gadis 29 tahun itu dulu sempat menganggap ini seperti sebuah lelucon. Bukankah seharusnya berdoa dulu baru makan. Namun seiring waktu dan kerapnya menyaksikan keramaian saban akhir tahun itu, ia pun paham. Doa bersama itu diperuntukkan untuk keberkatan perjalanan mereka menuju gereja, sedangkan sebelum makan biasanya tiap orang berdoa masing-masing. “Nak, bukan hanya makan sore. Sebelum memetik lemon cina di belakang rumah pun, kau juga harus berdoa,” ujar ibunya dengan mata selembut air telaga.
Setelah lima belas menit berjalan kaki dari rumahnya, mereka biasanya sudah tiba di gereja pukul 7 malam. Ibunya membawa peti nazar seperti anggota paskibraka yang membawa bendera pusaka. Ibu, pikirnya, bertahun-tahun kau membawa peti nazar ke gereja, takkah membosankan?
Di gereja, seperti biasa, mereka beribadah dan berdoa bersama. Sebelum jemaat pulang, baparaja kembali memberikan arahan. Biasanya lebih banyak terkait situasi dan keadaan negeri terkini. Di matanya, sang ayah menjelma orang paling berwibawa bila sudah menjadi pusat perhatian seperti itu. Ingin sekali ia berteriak, “Baparaja itu ayahku!”
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ibu. Lekas ia menekan tombol OK. Rindunya memuncak. “Iya, Ibu, beta baru tiba di Bandara Pattimura. Ini langsung ke Hunimual. Mungkin beta akan berangkat dengan feri pukul 10 pagi.” Sebagaiman dirinya yang tiba-tiba kaku memanggil diri sendiri dengan panggilan Beta, ibunyan juga tidak pernah dan tidak terbiasa bilang rindu, meskipun suara perempuan itu bergetar dan getarannya menabuh-nabuh gendang telinganya. Perempuan 60 tahun itu pasti mati-matian menahan air asin tidak merembes dari ekor matanya, batin gadis 29 tahun itu. Oh prasangkanya jadi bumerang. Buru-buru ia lap pipinya yang basah dan memerah.
Baru saja gadis 29 tahun itu memasukkan ponsel di saku jins selutut yang ia kenakan, seorang sahabat lama sudah menjemputnya. “Ayo! Katong harus cepat kalau mau dapat jadwal berangkat lebih awal!” teriak temannya.
Katong? Ah, lama sekali ia tidak mendengar kosakata Maluku yang berarti “kita” itu. Sesekali ia mendengarnya kalau sedang bicara dengan Ibu di telepon. Itu pun, karena rutinitas penelitiannya dua tahun belakangan ini, hanya bisa terjadi sebulan dua kali. Ya, penelitian doktoralnya membuat ia harus tinggal di rimba yang dipenuhi pohon ek tua di perbatasan Belanda-Luxemburg.
“Malam pergantian tahun besok, kamu ikut masuk rombongan mana? Tetap ke lekewa?” Baru saja mobil melaju, sahabat lamanya sudah melemparkan pertanyaan.
Oh ia baru ingat kini.
Setelah berdoa di gereja dan jemaat pulang, beberapa orang perwakilan tiga tungku tadi akan membagi rombongan menjadi enam. Ia dan beberapa anak yang lain biasanya tidak mau tinggal di rumah meskipun mata ibu mereka sudah memelotot. Ibu mereka memang tidak mungkin marah atau berteriak di dalam gereja. Dan ayah mereka, selalu menjadi figur penyayang dengan membolehkan mereka ikut. Ya, ia selalu masuk rombongan ayahnya ke baileo atau balai adat. Ia selalu suka berada di baileo. Bahkan orang-orang Kamarian memiliki sebutan tersendiri untuk baileo mereka: lekewa.
Lima kelompok lain tentu tidak akan ke lekewa. Serombongan pendeta tetap berada di gereja. Sementara empat kelompok lainnya akan tersebar di empat penjuru negeri. Ia ingat, sahabat lamanya yang saat ini berada di balik kemudi, sebagaimana dirinya, selalu menolak diajak ayahnya yang pemuka adat untuk bergabung. Ia selalu memilih bergabung dengannya ke lekewa. “Tengah-tengah malam ke hutan, buat apa?” ujarnya ketika ayahnya menanyakan alasannya masuk rombongan ke lekewa. Meskipun berada di tempat yang berbeda, kecuali para pendeta di gereja, lima kelompok itu akan melakukan pasawari alias melakukan ritual memohon kebaikan dan keberkahan untuk setahun ke depan kepada arwah nenek moyang.
Menjelang pukul dua belas, semua penduduk akan berkumpul lagi di gereja. Mereka datang bukan untuk beribadah, melainkann berdoa bersama. Doa syukur. Lalu pulang lagi. Berdoa di rumah masing-masing. Sebelum tifa ditabuh (dulu memang gereja di tempatnya belum punya lonceng), rumah-rumah dipeluk kesunyian.
Ia pernah mengeluh terkait ini. “Kenapa kita harus bolak-balik gereja dan berdoa lagi di rumah sepulangnya, Bu?” Dan seperti biasa, dengan ketenangan yang masyuk, ibunya menjawab, “Inilah yang membuat malam pergantian tahun ini menjadi istimewa, Nak. Kalau sama saja seperti biasa, adakah kau akan mengingat semuanya. Nanti, kau akan rindu kalau sudah jauh.” Ia ingat, kata-kata itu diutarakan ibunya ketika ia sudah tamat SMA dan sedang menunggu hari untuk menyeberang ke Ambon demi mengejar gelar sarjana di Universitas Pattimura.
Ibunya benar. Kini, tiap mengingat itu, ia merindukan aroma kursi panjang gereja yang terbuat kayu kelapa dan rambut ibunya yang menguar bau matahari, merindukan bermain di mangge-mangge di tepi laut yang hari ini separuh pohonnya terendam air laut karena abrasi, merindukan berlarian di sepanjang pantai (kakaknya akan menjewer telinganya lalu menyeretnya pulang karena menemukan ia dan teman-temannya bermain jauh dari rumah–hingga pantai Hutasua atau Seriwawan), merindukan nasi kuning yang dibuat Ibu untuk sarapan, merindukan teriakan ayahnya di meja makan sebab ia lupa menyiapkan tempat garam, colo-colo, dan rujak hutan sebagai teman ikan bakar. Merindukan rumah. Merindukan Ibu. Ayah?
Ah, ayah sudah di surga.
“Oh aku tidak seharusnya membuatmu ingat pada almarhum ayah ….” Ada nada penyesalan dari kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu, sebelum kemudian ia meraih tangan kanan gadis 29 tahun itu dan menggenggamnya sejenak seperti hendak menguatkan lalu kembali memegang kemudi.
Gadis 29 tahun itu menoleh dan tersenyum. Ia ingin bilang “tidak apa-apa” tapi lidahnya kelu.
“Eh kamu masih ingat Om David?”
Suara nyaring sahabatnya itu seperti membuka bilik kenangannya yang lain. Mungkin sahabatnya itu pikir, dengan mengalihkan percakapan tentang ayahnya ke topik terkait Om David, bisa membuatnya hijrah dari masa lalu yang barusan merangkulnya begitu erat. Sayang sekali, sahabatnya itu keliru.
Tiba-tiba bilik ingatan yang lain membuka pintunya sendiri.
Ketika tahun baru saja bernama baru, di tengah malam yang mulai riuh, ayahnya membawanya ke rumah-rumah tetangga yang memegang jabatan sebagai pemuka adat atau pendeta. Mereka bersalaman. Mengucapkan selamat tahun baru sekaligus mengirimkan doa untuk kebaikan masing. Seseorang yang ia panggil Om David sering memberinya dodol durian yang sangat manis kepada anak-anak di malam itu. Ia selalu tidak ingin melewatkannya!
Walau tidak selalu, Om David juga gemar bercerita. Dari pria bermarga Tomatala itulah ia tahu kalau lekewa diamanahkan kepada keluarga Tomatala untuk dijaga dan dipelihara.
Dari laki-laki berperawakan keras dan berambut keriting itu juga ia akhirnya tahu kalau Negeri Kamarian yang didominasi pemeluk kristen memiliki pela yang sama dengan Negeri Sepa yang muslim di Ambon. Informasi dari Om David itu menjadi penting baginya, paling tidak, berhasil membuatnya berhenti mengagumi Ahmad, cowok satu kelas yang jadi perbincangan cewek-cewek satu SMA-nya kala itu, karena akhirnya ia tahu kalau Ahmad berasal dari Sepa. Belakangan ia juga baru sadar kalau teman-teman SMA-nya yang perempuan tidak pernah serius menyukai Ahmad. Tebakannya … tentu karena pela yang sama.
Di sini, adat dan budaya begitu digdaya di hadapan cinta …
“Fulani dicambuk di lekewa dan disaksikan keluarganya di Kamarian sini,” lapor Ibu ketika meneleponnya dua tahun lalu. Ia sempat bungkam beberapa saat. Wine yang baru ia tenggak hampir ia muntahkan saking mendadaknya perasaan terperenyak itu mendorongnya. Ia tak menyangka, adat itu masih mencengkeram kuat pemikiran orang-orang Kamarian dan Sepa. Apakah Bumi tak berputar di sana, batinnya. “Bagaimana dengan pacarnya, Bu?” Ia tahu, ada emosi dalam pertanyaannya. Sebagai perempuan berpendidikan yang menjunjung keadilan, ia tidak terima kalau laki-laki Sepa itu tidak dihukum. “Ia juga menerima akibatnya.” Ia sedikit lega sebab tidak menemukan intonasi menutup-menutupi sesuatu dari suara ibunya. “Tapi bukan di sini. Di negerinya. Ia bahkan dikembalikan ke Sepa,” tandas ibunya. Oh baru tahulah ia kalau hukuman itu menimpa dua orang pelajar SMA. Tiba-tiba ia merasa beruntung sekali karena dulu tidak menindaklanjuti kekagumannya pada Ahmad.
Selain kepemilikan lekewa oleh dua negeri, gadis 29 tahun itu juga baru tahu tidak ada panaspela di antara Sepa dan Kamarian ketika Om David memberitahunya suatu hari. “Kita mulanya adalah anak kembarnya Nunusaku. Buat apa perayaan bagi saudara kembar?” Ia masih ingat, bagaimana laki-laki berkulit gelap itu menerangkannya dengan kedua mata yang hampir keluar saking bersemangatnya. Nunusaku? Ah tempat tanpa alamat itu telah lama menumbuhkan kebanggaan dirinya sebagai seseorang yang lahir di Nusa Ina.
Ia juga pernah mendengar, saking terikatnya Sepa-Kamarian, pernah ada peristiwa menggemparkan di kampung halamannya. Seseorang dari Sepa yang kehausan setelah melakukan perjalanan jauh, meminta kelapa muda kepada salah seorang penduduk Kamarian yang menanam pohon itu di muka rumahnya. Entah karena sedang ada masalah atau karena tabiatnya yang tidak baik dan … tentu saja karena ia tak tahu kalau si peminta berasal dari Sepa, warga Kamarian itu menolak memberikan kelapa mudanya. Tak berselang lama, semua kelapa di Kamarian menua dan jatuh dari pohonnya.
Kekuatan pela di Negeri Raja-Raja ini juga pernah diuji oleh sebuah peristiwa di zaman modern ini: kerusuhan yang melanda Maluku Tengah pada tahun 2008. Seorang guru berdarah Amalohy (Kamarian) sedang mengajar ketika Negeri Kilosatu itu diserang orang-orang Sepa yang mengenakan kain penutup kepala berwarna merah menyala. Menyadari kekacauan yang lebih besar akan pecah, guru itu bukannya bersembunyi, melainkan berlari keluar kelas dan meneriakkan kata “Amalohy!” dengan lantang. Ia dengan kepercayaan yang tinggi pada kekuatan pela merasa perlu menunjukkan identitasnya. Menyadari kalau ada pela mereka di negeri yang mereka serang, orang-orang Sepa menghentikan penyerangan itu. Refleks mereka meneriakkan “Silalouw” yang menunjukkan kalau mereka memang berasal dari pela yang sama.
“Eh iya, apa kabar Om David?” Gadis 29 cengengesan dan mengggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tahu kalau respons yang ia berikan telat.
“Kemarin ia sedang membongkar atap lekewa. Baris pertamanya banyak yang lapuk.”
“Kenapa tidak meminta yang lain saja? Kasihan Om David sudah tua.”
“Lha memang siapa?” Sahabatnya itu bertanya cepat. “Apa kamu tidak tahu kalau atap dan tiang di baris pertama lekewa itu hanya bisa dibongkar oleh marga Tomatala, bukan marga yang lain! Kelamaan di Leiden, kamu lupa Kamarian!”
Perempuan itu diam saja. Ingin sekali ia menyela, “Memangnya tidak ada Tomatala yang lebih muda dari Om David?” tapi urung. Ia khawatir hal itu malah memancing sahabatnya itu mengeluarkan semua perbendaharaan pengetahuannya tentang adat negeri. Ia tidak ingin terlihat bodoh terlalu sering.
Yang ia tahu, lekewa dibangun dari kayu gupasa, tanpa cat, tanpa paku, tanpa lampu. Ia juga ingat hikayat pohon gupasa di depan lekewa yang diceritakan Om David saat ia masih kecil. Kalau ranting besar gupasa itu patah dan jatuh, alamatnya akan ada orang dewasa Kamarian yang akan meninggal dalam waktu dekat. Apabila yang patah dan jatuh itu ranting yang kecil, seorang anak kecil Kamarian harus bersiap-siap dijemput-Nya tak lama lagi.
“Kamu ingat hikayat pohon gupasa yang tumbuh di depan lekewa?” Kali ini giliran perempuan 29 tahun itu bersiap-siap memamerkan pengetahuannya.
Sahabatnya itu tertawa kecil sebelum menyilakan ia membentang hikayat.
“Pohon gupasa di depan Lekewa mulanya adalah sebatang tombak milik panglima perang Amalohy. Mulanya ada beberapa tombak panglima yang dibawa dua orang Sepa dan seorang Kamarian. Mereka diperintahkan panglima yang tinggal di gunung untuk mencari tempat tinggal dengan cara menandai tanah yang mereke pilih. Setelah menemukan dan menanam tombak, ketiga orang itu menghadap. Dengan bangga mereka melaporkan tugas yang baru saja ditunaikan. Panglima dan rombongan pun turun ke wilayah-wilayah yang dimaksud. Alangkah terkejutnya mereka ketika mendapati tombak-tombak yang ditanam prajurit dari Sepa berubah menjadi sebatang pohon mengku dan kemutu, sedangkan tombak yang dibawa prajurit dari Kamarian berubah menjadi pohon gupasa!”
Sahabatnya bertepuk tangan serta-merta. “Kamu masih gadis Kamarian, rupanya, ya?”
“Eh kamu sedang menyetir!” Gadis 29 tahun itu memberi peringatan.
Tawa mereka pun pecah. Gadis 29 tahun itu tertawa makin keras hingga berujung tangis yang tak terkendalikan.
Sahabatnya terus menyetir. Ia ingin bertanya dan meminta gadis 29 tahun itu berhenti tertawa, tapi tak jadi. Ia seperti baru sadar, bawa apa saja yang mereka bicarakan barusan sudah menggiring gadis 29 tahun itu ke kubangan nostalgia yang sephia. Ia kini dapat membayangkan, bagaimana perasaan calon doktor itu di ritual pergantian tahun besok malam ketika mendapati rumahnya tak lagi ramai sebab baparaja itu sudah tiada. Ia dan ibunya akan hanya berdoa di gereja sebelum kemudian berdiam di rumah menunggu lonceng dibunyikan Om David Tomatala (hari ini, tak ada lagi tifa!).
Ia mati-matian menahan dirinya untuk tidak bertanya, “Setelah putar kaki di rumah calon suamimu tanggal 4 Januari nanti kau akan menikah tak lama setelahnya. Kau akan menghabiskan waktu menemani ibumu di Kamarian atau kembali ke Leiden bersama suamimu?”*
Piru, 26 April 2018
Catatan:
⁃ semua informasi tentang tradisi pergantian tahun, putar kaki, salwir, tiga tungku, malamait, didapatkan penulis dari tuturan baparaja Kamarian, Jo dan istrinya.
⁃ Semua informasi terkait pela, lekewa, dan hikayat pohon gupasa, disarikan dari tuturan David Tomatala, tuagama yang juga menjabat kepala urusan kesra di Kantor Pemerintah Negeri Kamarian.
⁃ Untuk menggambarkan kekayaaan lokalitas Kamarian kepada pembaca, penulis merasa perlu ‘menciptakan’ tokoh-tokoh yang ia pinjam dari Negeri Entahberantah: perempuan 29 tahun dan sahabat lamanya dan sejumlah nama lainnya. Selebihnya, termasuk peristiwa, hikayat, dan kronik negeri Kamarian lainnya, penulis bersandar pada tuturan baparaja Jo dan istrinya, dan David Tomatala.
⁃ Lampiran foto adalah hasil kunjungan penulis di Negeri Kamarian.