Kopi dari Benny
“Mas, ada paket…” teriak tetangga depan rumah ketika saya baru pulang. Mungkin saya termasuk sering dapat paket. Baik kiriman buku, sekadar oleh-oleh, majalah, atau pesanan online. Petugas ekspedisi sudah kenal baik. Jadi mereka sudah tahu, kalau saya atau istri tidak ada, bakal dititipkan kepada tetangga.
Pengirimnya? Benny Institute, Lubuk Linggau.
Hmm… beberapa hari yang lalu, Benny Arnas tanya, “Alamat rumah nggak berubah kan Bang?” Saya menjawab, “Mau pindah kemana lagi Ben…” Kami saling tertawa. Karena demikianlah, tertawa adalah bagian penting dari setiap perbincangan saya dan Benny. Mungkin juga dengan yang lain. Selanjutnya pembicaraan beralih, saya hanya membatin. Benny mau ngirim pisang kali, baru panen kebonnya.
Benny Arnas itu bukan orang lain di Fun Institute. Bukan karena menulis yang mempertautkan saya dan Benny, tapi jauh dari itu. Kalau ke Jakarta, ada acara di Jakarta, sebisa-bisanya kita berjanji saling berjumpa. Bila tak ada jatah menginap di hotel atau akomodasi dari panitia, dia biasa menginap di rumah saya. Begitulah, sederhana saja.
Saya mengagumi Benny dengan semangat dan kerja kerasnya dalam menempuh jalan ini. Menjadi penulis. Dan kesungguhannya bisa dijadikan contoh buat teman-teman, anak-anak muda lain yang ingin menjadi penulis seperti dirinya. Kekuatannya mengeksplorasi tema-tema lokal membuat karyanya unik dan berbeda. Keberaniannya tampil dan menyorong karya ke berbagai panggung menjadi nilai tambah lainnya. Termasuk kemampuannya berkomunikasi dengan berbagai kalangan, lintas dunia kreatif, pun dengan birokrasi.
Bila saya bercerita banyak tentang Benny, saya bisa jadi gila. Ibarat orang yang menggarami air laut. Dari Lubuk Linggau dia melanglang buana, termasuk ke New Zealand dalam program residensi budaya. Karyanya merekah tak hanya sastra yang pencapaiannya tidak biasa. Tapi mengiris ke wilayah kreatif lainnya, menjadi penulis lagu, produser, sutradara, sekaligus penulis naskah drama.
“Benny kirim kopi, Mas…” kata istri saya yang membuka paketnya. Saya tersenyum, segera saja mengambil hape. Ben, kirimannya sudah sampai. Terima kasih ya… dan seperti biasa, tak bisa hanya saling menyahut patah-patah. “Saya lupa Bang, kalau Abang penyuka kopi sasetan…” tawanya berderai. Benny mengirimkan biji kopi dalam kemasan yang musti digiling dengan coffee grinder kalau mau disajikan. Ada kopi Pagar Alam dan kopi Curup Rejang Lebong. Aromanya menggoda. Rasanya ingin segera memanggil Zaenal Radar untuk ngopi bareng. Sori Zae, ini bukan kopi pemula…
Selain kopi, Benny menyertakan tiga buku. Satu naskah drama yang ditulisnya dan baru saja dipentaskan di Lubuk Linggau. Dua buku lainnya, satu karyanya, satu lagi karya istrinya, Desi. Benny menulis, Desi pun menulis. Seperti juga saya, istri saya pun menulis. Itulah persamaan yang membuat persaudaraan ini kian seirama. Saya mendirikan Fun Institute tahun 2011, dia mendirikan Benny Institute di tahun 2012. Begitu saja, selanjutnya saling tegur sapa, saling menguatkan dan menyemangati. Selebihnya, kita ngomongin kopi sambil tertawa geli.
Karena memang banyak ironisme yang menjadi sangat komedial. Setidaknya, saya dan Benny membuatnya jadi sangat komedial. Hidup tidak harus serius terus, kalau masih bisa menemukan ruang tawa, ya tertawa saja. Terutama menertawakan diri kita, meskipun ini sudah level di atas rata-rata. Terima kasih kopinya Ben… [tef]