Membaca dengan Gembira
Ketika hendak menghadapi ujian di bangku sekolah maupun kuliah, saya, mungkin juga sebagian pembaca, pernah berada dalam keadaan “membaca yang dipaksakan” demi memastikan materi-materi pembelajaran yang pernah diberikan atau disarankan pengajar benar-benar nyangkut di kepala. Di waktu yang sama, harapan dan kekesalan juga melanda: semoga apa yang dibaca (atau dihafal) akan menjadi materi yang diujikan, namun ketakutan yang sulit digambarkan juga membayang sekiranya soal-soal mengetengahkan materi pengayaan yang tak jarang hanya diketahui jawabannya oleh si pengajar dan Tuhan Yang Maha Esa. Apa yang terjadi kemudian? Saya membaca dengan kecemasan yang tidak kuasa dihalau. Saya membaca dengan terpaksa. Membaca dengan beban berat yang absurdnya nggak ketulungan. Apakah saya bisa menjawab soal-soal ujian itu dengan metode membaca demikian? Yaaa relatif. Mendapatkan nilai memuaskan? Kadang ya, kadang tidak, alias relatif lagi. Apakah pelajaran-pelajaran itu benar-benar nyangkut dalam kepala? Ya. Berapa lama? Satu hari. Dua hari paling lama. Tiga hari kalau ada keajaiban.
Mengingat-ingat metode belajar (baca: membaca) demikian, kerap membuat saya tersenyum sendiri sekaligus menyadari kekeliruan yang tanpa sadar menjadi rutinitas belajar (kami) waktu kami sekolah atau kuliah. Belajar (hanya) di malam jelang ujian atau yang biasa kami sebut SKS alias “sistem kebut semalam” seakan-akan lumrah sehingga tak kami sadari kelemahannya: supertertekan ketika belajar, namun ilmunya nyangkut sehari saja.
Setamat kuliah, saya seperti keluar dari penjara yang mengharuskan saya membaca buku pelajaran atau materi kuliah semalam jelang ujian dan saya pun merayakannya dengan membaca buku-buku lain alias buku-buku nonpelajaran, seperti fiksi dan seri ilmu pengetahuan yang saya sukai saja. Saya membacanya dengan senang hati, dengan riang gembira. Karena saya membaca buku-buku yang saya suka, saya menamatkan banyak judul. Tak jarang saya menghasilkan cerpen atau puisi atau esai usai membaca buku-buku itu. Meskipun begitu, tidak semua buku saya khatamkan dalam sekali duduk. Tak jarang, saking menariknya sebuah bacaan, saya justru berharap kecepatan membaca saya tidak buru-buru singgah di halaman akhir. Tak jarang pula, saya memilah buku-buku genre tertentu yang saya baca hanya untuk mengantar saya terlelap hingga tak sekalipun saya menamatkannya. Tak jarang-jarang pula, saya mempunyai stok buku tertentu yang akan saya bawa ketika bepergian, dan kerap terjadi ia adalah buku-buku favorit sehingga saya membaca tulisan yang saya sudah hafal bagaimana isinya dan itu sedikit pun tidak mengganggu saya meskipun beberapa orang bisa saja menyebutnya buang-buang waktu. Lagi, tak jarang-jarang-jarang pula saya menantang diri sendiri untuk membaca buku-buku yang sebenarnya asing bagi saya namun selalu berhasil membetot urat penasaran saya, misal buku tentang gunung berapi, kekaisaran Tiongkok, UFO, Hollywood, atau ensiklopedia flora dan fauna ….
Saya membaca semuanya dengan riang gembira. Kalau lelah, lelaplah saya. Kalau bosan, saya tinggalkan. Kalau tidak menarik, saya kembalikan ke rak. Tapi, anehnya (atau sebenarnya, kata “anehnya” tak pas saya gunakan di sini), isi buku-buku di atas, buku-buku yang saya baca tanpa desakan dan tuntutan atau paksaan di atas, isinya nyangkut di kepala dalam waktu yang lama, bahkan hingga hari ini. Tak jarang, ketika saya menulis prosa, puisi, atau esai, bahan-bahan bacaan itu semaunya saja menyeruak dari kebun ingatan saya lalu mendatangi otak saya dengan membawa kekayaan-kekayaan yang bisa saya gunakan gratis agar saya tidak menghasilkan tulisan yang memalukan. Pada titik kesadaran ini, gembira-rayalah saya. Saya menyambut segalanya dengan senang hati. Saya memilah-milih harta yang berserakan dalam kepala dengan gairah yang mengalir sesuai takaran. Saya mengambil yang sekiranya pas dengan kebutuhan dan menyimpan ulang yang belum saatnya digunakan. Saya puas sekali bersenang-senang dengan tabungan.
Maka, ketika hari ini, dengan waktu luang yang dimiliki, saya merasa begitu merugi ketika tidak mampu membaca paling tidak 50 halaman buku per hari. Masak perayaan-bebas-dari-penjara (baca: buku-buku pelajaran sekolah) harus saya rayakan dengan leyeh-leyeh begini? Bila sudah ditusuk bumerang seperti itu, saya biasanya bergegas menuju rak buku dan meminta istri atau khadimah untuk membuatkan kopi-minim-gula yang kuasa mengganjal kelopak mata tidak mudah menutupi bola ajaib di bawah kedua alis. Ya, salah satu cara ampuh untuk menyentil kemalasan membaca di tengah atmosfer kebebasan dalam memilih buku dan situasi atau kondisi nyaman yang bisa saya ciptakan sendiri, mengingat keterkungkungan ketika masih menempuh pendidikan formallah yang saya lakukan.
Saya pikir, bukan saya sendiri yang mengalami keadaan di atas. Saya bahkan merasa tolol sekali karena baru menyadarinya sehingga baru kali ini menuliskan semua ini. Bila waktu diputar ulang, ingin sekali saya membaca buku-buku pelajaran itu tanpa harus menunggu jadwal ujian yang gemar datang tiba-tiba meskipun saya juga tak yakin, apa iya saya akan menyukai buku-buku yang membosankan itu, sebagaimana saya kerap bertanya nakal pada diri sendiri: bolehkah kita memilih pelajaran, khususnya di sekolah, berdasarkan–buku-buku bacaan tentang–hal atau urusan atau lingkungan atau dunia—ilmu yang kita gemari saja agar kita bisa membaca dengan riang gembira, tanpa tuntutan, tanpa paksaan. Tanpa beban.
Sebagaimana aktivitas belajar yang selayaknya menyenangkan, membaca juga demikian.(*)