Menjadi (Pemilik) Gelas
Kita kerap mendengar ungkapan bijak bin inspiratif “Jadilah gelas yang setengah isi-setengah kosong” agar masih tersisa ruang dari dirimu untuk menerima kebaikan yang dituangkan. Ungkapan yang “agak” lebih ekstrem berbunyi “Jadilah selalu gelas yang kosong” agar engkau selalu merasa perlu belajar.
Bagi saya, kedua kutipan itu mengandung perumpamaan yang bagus sekali. Bijak. Inspiratif. Membangun. Meneduhkan. Mengandung aura positif. Namun, saya bukanlah tipe orang yang serta-merta menerima segala hal tanpa menelaahnya lebih dahulu. Seperti urusan “Gelas-Menggelas” ini–anggap saja begitu istilahnya.
Dua kutipan di atas menyarankan kita menjadi gelas. Benda mati. Tentu saja pasif. Sebab ia menjadi objek dari tiap perbuatan yang ditujukan kepadanya. Tapi tak masalahlah kalau pun memang ini pilihan sadar dari si pencetus kutipan. Dan baiklah, aminkan saja. Terimalah saja.
Saya simsalabim berkenan menjadi gelas. Tentu saja pada mulanya saya adalah gelas yang kosong. Untuk membuatnya lebih dramatik, saya juga bersih, mengilap, dan wangi.
Lalu saya pun menunggu. Namanya saja gelas.
Benda mati. Yaaa hanya menunggu apa yang akan orang-orang lakukan padanya, apa yang akan dituangkan ke dalam dirinya. Saya pun dituangkan air putih. Air orson. Air kopi. Dan lain-lain. Untuk kebutuhan dramatik lagi, saya katakan, setetes-demi-setetes.
Saya pun menjadi orang yang bergembira sebab tiap waktu saya beroleh pelajaran dan pengalaman hidup yang membuat diri saya terus terisi. Terus berisi. Baik atau pun buruk, itu urusan lain. Yang terang adalah semakin waktu berjalan, sebagai gelas, saya pun terus “kedatangan” tuangan air.
Mengikuti logika kutipan itu, ilmu saya pun makin nambah. Paling tidak, pengalaman dan jam terbang kehidupan saya pun makin kaya. Jadilah saya pribadi yang matang. Yang berisi. Gelas terus menerima tuangan demi tuangan air di dalamnya hingga akhirnya melebihi setengah ruang yang tersedia. Karena sadar, bahwa menjadi manusia yang baik itu adalah memastikan kalau gelas itu hanya berisi setengah, saya pun ingin menumpahkan isi yang lain untuk memberi tempat bagi air lain mengisi diri saya. Tapi tak bisa. Saya hanyalah sebuah gelas. Telanjur menjadi gelas. Air terus masuk. Karena tidak bisa melakukan apa pun, saya pun penuh. Dan tuangan terus datang dan terus tumpah dengan sendirinya. Saya ingin sekali membuang separuh isinya, tapi tak bisa. Saya menangis. Menyesal. Mengapa menjadi semenderita ini. Sepasif ini.
Tapi saya tak berhenti berharap.
Hingga, akhirnya, ada seorang anak kecil yang tak sengaja membentur sudut meja tempat saya berdiam. Saya pun goyah. Tumpahlah sebagian air di dalam gelas. O tidak, saya tergeletak. Hingga kosonglah diri saya saat itu. Saya gembira. Namun hanya berlangsung sesaat, sebab saya bingung, bagaimana untuk bangkit agar saya siap menerima air yang dituangkan ke dalam diri saya.
Untunglah, tiba-tiba ada tangan yang mengambil saya dan menegakkan saya sehingga menjadi gelas kosong yang siap menerima ilmu yang baru. Namun baru saja saya ia hendak menuangkan air sirup ke dalam diri saya, anak brengsek itu kembali berlaku ceroboh hingga meja itu oleng dan saya pun jatuh ke lantai. Pecah. Berbeling-beling.
Sampai di sana saja, saya tak sangggup melanjut-kembangkan cerita ini. Makin nyesek, nantinya. Bila itu adalah lamunan dan mimpi saya, begitu terjaga saya ingin merobek buku-buku yang menyuruh saya menjadi gelas yang tak berdaya. Sebab saya tak ingin menjadi tukang-tunggu tanpa batas waktu, sebab saya tak ingin kisah hidup saya berakhir tragis menjadi beling-beling. Sebab saya tak ingin dikendalikan oleh siapa pun. Semesta sekalipun.
Sebab saya ingin menjadi manusia yang berhak atas apa yang masuk dalam diri saya. Ilmu, pengalaman, atau pengaruh lainnya.
Saya tak ingin menjadi gelas. Dengan iming-iming dramatik “setengah isi-setengah kosong” sekalipun.
Saya ingin menjadi pemilik gelas itu.
Gelas saya sendiri. Yang dapat saya tambah-kurangi isinya sesuai keadaan. Sesuai kebutuhan.***
Lubuklinggau, 9 Maret 2017-2019