(Hari ke-3 di Seram Bagian Barat)
Dari tiga instansi yang masuk dalam tujuan silaturahim kami kemarin, Dinas Pariwisata Kabupaten SBB adalah satu-satunya yang terlewatkan. Oleh karena itu, kata-kata Bu Sastri Sunarti kemarin bahwa mulai hari ini saya bisa berpakaian kasual, akhirnya tidak terbukti.
Saya mengeluarkan kemeja putih dari koper dan memadupadankannya dengan jins dongker yang saya kenakan kemarin. Pukul 08.30 WIT kami menuju kantor dinas pariwisata. Kurang dari 15 menit kemudian kami sudah tiba di tempat tujuan.
Di ruangannya, kepala
dinas tampak sibuk memeriksa dan menandatangani berkas. Meskipun begitu laki-laki bernama Jan Sukouta itu tetap menyilakan kami masuk. “Saya mohon izin menyelesaikan ini sebentar,” ujarnya seraya menunjuk beberapa map di ataa meja.
Entah karena memang urusan Pak Jan sudah selesai atau tak enak hati membiarkan tamu yang telanjur duduk di ruangannya menunggu, ia melayani percakapan di antara kami yang membahas agenda pariwisata. “Kami sudah membuatnya, namun kadang kala menemukan kendala dalam realisasinya,” celetuknya.
Saya lihat Pak Jan sudah meletakkan pena dan menutup map. Baiklah, mari manfaatkan waktu yang Anda, batin saya.
Pak Jan menceritakan lokalitas-lokalitas SBB tanpa diminta. Saya, sebagai pencinta sekaligus pemburu hikayat, tentu memasang telinga awas-awas, menunjukkan air muka khusyuk menyimak, dan menahan diri untuk menyela apabila cerita-cerita itu sedikit-banyak pernah saya dengar atau memiliki kemiripan dengan legenda atau mitos di tanah kelahiran saya.
0. Arken
Mendengar istilah yang berarti Anak Kepulangan ini, pikiran saya langsung melayang. Alangkah kompleksnya sistem kekeluargaan dalam adat Seram ketika aturan dan kelonggaran itu bisa berdampingan. Arken ini contohnya.
Arken adalah seorang anak yang mendapat marga ibunya ketika dinamai. Arken hanya berlaku untuk satu anak, meskipun sebuah keluarga memiliki jumlah anak yang banyak.
“Arken ini biasanya tidak berlaku bagi anak pertama tentunya, ‘kan, Pak?” Akhirnya naluri keingintahuan saya tak bisa dibendung. “Saya menanayakan hal itu sebab, umumnya, laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan. Setahu saya, kecuali di Minangkabau, patrilinial berlaku di sebagian besar kehidupan penduduk di negeri ini.
Pak Jan menggeleng. “Di tempat-tempat lain yang masih berada dalam wilayah Maluku atau di Seram, dapat saja begitu. Namun di Kecamatan Taniwel, tidak demikian. Arken dapat saja disandang anak pertama atau anak satu-satunya dalam keluarga itu.
Karena mendapatkan tanggapan yang baik, keingintahuan saya pun beranak. Kali ini saya menanyakan, tidakkah hal itu bisa memicu perselisihan antara suami dan istri atau bahkan melibatkan–salah satu atau kedua belah–pihak keluarga mereka yang menginginkan anak pertama menyandang marga mereka. Hal ini terlebih ditujukan untuj marga dari pihak ayah.
“Mungkin saja begitu, namun, sejauh yang saya tahu, hal itu tidak terjadi,” jawab Pak Jan seraya mengingat-ingat. “Ya, saya pikir begitu. Itu kebiasaan yang sudah berumur lama, terlebih di Taniwel.” Kali ini suaranya terdengar sedikit lebih meyakinkan.
“Di Taniwel, pendidikan demokrasi sudah hidup dalam lingkup keluarga sekalipun,” seloroh Bu Sastri yang berhasil memancing tawa kami.
0. Kakehang
Ini adalah kebiasaan orang-orang Arifuru yang sangat primitif. Demikian Pak Jan mengawali ceritanya tentang kakehang. Sejak seorang anak lelaki meranjak remaja, pikirannya akan diganggu oleh tantangan turun-temurun yang harus ditaklukkan: membawa kepala musuh (biasanya juga laki-laki) ke rumah adat.
Kakehang adalah semacam prasyarat yang untuk menyempurnakan kelelakian seseorang. Tentu saja, ini bukan sekadar kesukarelaan atau hal yang tidak mengikat. Ya, (anak) laki-laki yang sudah memenggal kepala musuh, memasukkannya ke dalam kamboti (semacam bakul yang dianyam dari daun kelapa), dan memajangnya di dinding rumah adat, akan dipandang “lebih” dari (anak) lelaki yang belum melakukannya.
Mereka yang sudah melakukan kakehang, dianggap sudah layak berumahtangga. Keluarga dari pihak perempuan merasa lebih aman menyerahkan putri mereka kepada laki-laki yang perkasa sebab dianggap mampu melindunginya dan anak-anaknya kelak.
Kakehang juga sebagai ketentuan yang harus dipenuhi apabila seorang laki-laki ingin menjadi prajurit dan turun ke medan perang.
Meskipun begitu, (anak) laki-laki yang terlahir dalam keadaan cacat, baik fisik atau mental, tidak akan “didorong” untuk melakukan kakehang. Namun, tentu saja, hal ini membuat status kelelakiannya jauh berada di bawah mereka yang sudah memenggal kepala musuh.
“Di rumah adat mana saya bisa melihat tengkorak-tengkorak yang digantungkan itu, Pak?” Sungguh, kalau rumah adat itu masih berada di SBB, sejauh apa pun, saya akan meminta Bang Reimon untuk mengantar saya ke sana.
Sayangnya, Pak Jan kembali menggeleng. Ini tinggal cerita. Di zaman sekarang ini, hal itu tentu saja bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Saya menghela napas kemudian mengangguk-angguk. Mungkin, hal paling jauh yang bisa saya telusuri terkait kakehang adalah mencari tetua adat untuk melakukan pendalaman cerita.
0. Antar-Dulang
Tujuh hari setelah lebaran (Idul Fitri), orang-orang Buton di Seram membawa aneka makanan dan peganan yang disusun di dalam nampan ke alun-alun negeri. Tradisi ini mengingatkan saya pada sedekah bumi yang banyak berlangsung di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Lubuklinggau.
Antar-dulang adalah ekspresi syukur dan kegembiraan yang dirayakan bersama-sama. Puncak acaranya adalah penduduk akan menyantap sajian di dulang bersama-sama. Sudah terbayang bagaimana serunya, ya?
0. Ketupat Jiwa
Di Luhu, jumlah penduduk dilambangkan–sekaligus bisa dihitung–dengan menghitung jumlah ketupat yang dibawa pihak keluarga ke masjid. Tradisi yang berlaku di tengah umat muslim Seram ini dilakukan menjelang lebaran. Wah, sayang sekali saya di SBB tidak sampai lebaran. Ingin sekali menyaksikan metode pendataan jumlah penduduk tradisional ini dengan mata-kepala sendiri!
0. Panaspela, Panasgandong
Bagaimana memelihara tali dan nasab keluarga agar tidak rusak? Bagaimana menambah “anggota” keluarga dari sebuah musibah? Orang-orang Seram punya jawabannya.
Pihak keluarga memiliki kewajiban untuk mengenalkan anggota keluarga dan saudaranya, terutama mereka yang tinggal di tempat yang jauh, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, baik itu perselisihan, keributan, atau bahkan pernikahan antarmereka. Tradisi ini disebut panaspela.
Sementara panasgandong adalah diangkatnya seseorang menjadi bagian dari keluarga yang diawali oleh suatu musibah atau sejenisnya. Di Lubuklinggau, tradisi ini dikenal dengan istilah angkanan.
0. Asambi
Hampir mirip dengan antar-dulang. Asambi adalah tradisi muslim di Pulau Manipa. Asambi dilaksanakan menjelang Ramadan, tapi bukan dengan sajian makanan, melainkan dengan pertunjukan kesenian dari sejumlah negeri di alun-alun negeri yang disepakati. Di waktu ini, biasanya orang-orang Pulau Manipa yang berada di luar pulau mudik dan ambil bagian dalam kegembiraan menyambut bulan suci umat Islam itu.
*
Lewat cerita-cerita di atas, Pak Jan seperti menjadi tukang cerita kedua setelah Pak Gasper. Dahsyatnya adalah, tidak satu pun cerita-cerita dari Pak Jan merupakan pengulangan atas apa yang telah diutarakan Pak Gasper kemarin. Sampai di titik ini, makin bulatkah kepercayaan saya akan kayanya khazanah cerita, harta karun tak benda dengan harga tak ternilai, yang dimiliki Seram.
“Silakan Dik Benny memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan pendalaman-pendalaman,” saran laki-laki berkumis itu seraya menepuk-nepuk punggung saya.
Ketika pamit, saya bertemu dengan Boy Manuputty di pintu keluar. Laki-laki berperawakan berkulit putih dan berperawakan tinggi besar itu memperkenalkan dirinya sebagai pendiri dewan adat di SBB. Saya merasa beruntung sekali. Kami sempat bertukar nomor kontak. Sayang sekali kami tidak bisa mengobrol lama. Selain pertemuan dengan Bang Boi adalah sesuatu yang insidensial, saya sudah tak sabar mengunjungi Pulau Osi. Satu-satunya gambar yang ditampilkan Google ketika saya memasukkan kata kunci “Seram Bagian Barat” di kolom pencarian.
“Nanti kita kontakan di WA ya, Bang,” ujar saya ketika Zulfan sudah menyalakan mesin mobil. “Saya pasti akan banyak bertanya,” pungkas saya sebelum masuk ke mobil.
*
Cerita hari ini dapat dikatakan setali tiga uang dengan hari kedua. Ya, kemarin, usai menangguk cerita dari Pak Gasper, kami menghadiahi diri kami dengan menikmati keindahan air terjun Lumoli. Hari ini, kami bermaksud mengulanginya di tempat yang berbeda. Ke Pulau Osi.
Kami harus menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Di gerbang Pulau Osi kami menyewa motor dan mengendarainya sendiri melewati jalan yang disusun oleh kayu. Eksotik!
Baru saja melewati gerbang, pemandangan hutan bakau yang hijau dan rimbun memanjakan mata. Namun itu hanya berlangsung 100 meter. Selanjutnya, laut dangkal nan jernih membuat saya tak bisa berkata apa-apa. Pulau-pulau yang biru di kejauhan dan awan-gemawan di langit yang biru-bersih membuat saya nyeletuk pada Bu Sastri yang saya bonceng. “Saya seharusnya bawa istri ke sini. Eeeeh ini malah bawa emak-emak!” Peneliti sastra itu memukul punggung saya sebelum kemudian tawa kami pecah di antara suara deru motor.
Di Pulau Osi ternyata sudah ada permukiman. Di jalan banyak kami temukan ikan-ikan teri yang dijemur. Burung kasuari ternyata menjadi unggas peliharraan yang lazim di sini.
Di dekat pantai, kami menemukan masjid. Saya senang sekali! Ketemu masjid di Hari Jumat. What a blessed day! Itu adalah masjid pertama yang saya lihat saat pertama kali menjejakkan kaki di Piru.
Sekitar 250 meter dari masjid itu, tak henti saya menggumamkan “masya Allah”. Hamparan laut lepas yang jernih, pulau-pulau di kejauhan, rumah makan dan bungalow terapung yang menjorok ke laut, dan … ini yang baru saya sadari ketika saya menatap air laut dangkal dengan saksama. Saya seperti melihat akuarium mahaluas. Rumput laut, bintang laut, dan ikan bendera tampak bergoyang-goyang disapu air laut nan tenang.
Nikmat yang Tuhan hadiahkan belum berakhir, rupanya. Usai salat Jumat, kami memesan menu yang sama dengan yang kami lahap di Rumah Makan Anda kemarin. Bedanya, di sini kami menemukan suami. Rasa ampas ubi kayu yang dikukus itu ternyata mirip roti kukus, namun suami memiliki volume yang lebih besar, rasa yang lebih tawar, namun setelah remah di lidah ada sensasi gurih.
Saya menutup makan siang itu dengan minum air kelapa muda. Saya habis tiga buah! What a dessert! What a lunch! What a day!
Ketika foto-foto Pulau Osi saya unggah di akun media sosial saya, Toufiq Wisesa, seorang keramikus internasional yang tinggal Jakarta mengirim pesan WA. “Kerenan mana dibanding NZ, Benn?” Kami memang tinggal satu apartemen ketika melakukan residensi di Aukcland dan Wellington tahun 2016.
“New Zealand kalah jauh!” balas saya cepat. Ingin sekali saya menambahkan kalau saya baru saja makan durian di Pasar Piru yang dibanderol dua puluh ribu untuk empat buah, tapi saya tak melakukannya. Saya khawatir rekan saya itu blingsatan dan memesan tiket ke Seram keesokan harinya. Wah, bakal repot saya di sini! (Huhaaa, Toufiq, maafkan hamba!).
Sampai hari ketiga ini, sebuah kutipan mencuat dari kepala saya. “Apabila kau sudah mengunjungi pulau-pulau di Indonesia, niscaya kau akan sadar kalau kenarsisanmu berplesiran ke luar negeri itu tak lebih menang gengsi. Harta karun alam dan kebudayaan yang kita miliki tidak tersaingi oleh negeri mana pun di muka Bumi.”
Saya tahu, ungkapan di atas bisa saja terbaca berlebihan. Tapi apabila kesan itu muncul dari mereka yang belum pernah mengunjungi Pulau Osi, belum pernah menjejakkan kaki di Pulau Seram, tentu saja saya memakluminya.*
Kawah Lama, 13 April 2018