Pengantar Rasa Takut
(Jawa Pos, 10-11-2019)
Gadis itu adalah komet tanpa ekor yang lupa tujuan sebelum mendarat darurat di barat Jawa. Keberadaannya tak menyebabkan kehancuran, tapi kuasa menggegerkan seisi kota. Musmuliquniq, seorang raksasa dari Java Minor yang sering membuat onar, ditumpasnya dalam dua jurus. Leher Hargwunoslnass, pemimpin kawanan perompak dari Tanjung Harapan yang tiga bulan sekali membuat penduduk Sunda Kelapa jatuh miskin, patah setelah pertarungan tak imbang yang memakan separuh waktu menghabiskan nasi sepiring. Bahkan Saripatun dan Browokusminonetr, pasangan kuntilanak-gendoruwo yang menyebabkan keberadaan Sungai Ciliwung tak terjamah, tak lagi pernah menampakkan diri dalam wujud menyeramkan. Kata beberapa saksi, ia menanam kepala si kuntilanak dengan 50 batang paku dan memenuhi punggungnya yang bolong dengan bara yang ia angkut dari mata api abadi di utara Hatnahatnareb.
Gadis berambut sebahu itu bukan hanya tak memiliki rasa takut, tapi juga petarung yang hebat. Karena itu pula, orang-orang tak berani mendekat. Selain ia jarang terlihat, juga karena mereka tak mau keliru memilih kata atau salah bersikap—alih-alih mencairkan suasana, kehadiran mereka malah membuat si gadis murka!
Namun, sumbu pikiran orang kota ternyata juga bisa pendek. Gambaran si gadis dalam kepala mereka adalah, selain tanpa rasa takut, lahir dari prasangka dan pengayaan perasaan yang bahkan tak mereka tahu ujung pangkalnya. Padahal, nun jauh di lubuk hati, gadis itu sebenarnya membutuhkan alihan perhatian dari sekadar memburu rasa takut. Tak sekalipun terpikir oleh sesiapa kalau gadis itu adalah makhluk hidup sebagaimana mereka.
Jatuh dari langit sekalipun, ia tetaplah seorang gadis. Selain rasa takut yang lupa Tuhan embuskan ke dalam jiwa, pergaulan dan percakapan mungkin saja akan membuatnya sibuk dengan urusan ini-itu; kegiatan dan pekerjaan mungkin saja menggiringnya menemukan kepenasaran baru; perkumpulan dengan rencana dan tujuan di dalamnya mungkin saja membuatnya sadar tentang kodrat perempuan. Ya, jauh di dalam lubuk hati, semua itu adalah kebutuhan yang belum gadis itu sadari keberadaannya, sehingga urusannya hanya berpilan-pilin dengan rasa takut dan segala cara untuk menghayatinya.
Gadis itu bukan orang yang bangga dengan ketiadaan-rasa takut yang melekat padanya. Ia sungguh penasaran dengan rasa takut. Ia ingin mengalami kejadian-kejadian yang mendebarkan. Yang membuat jarak antardegup jantung makin rapat, keringat berebutan merimbuni pori-pori, napas yang kewalahan mengatur ritme, atau pita suara yang memproduksi teriakan yang tak pernah terpikirkan oleh yang bersangkutan. Maka, di mana pun keonaran, pertikaian, keributan, atau bahkan peperangan, menabuh gendang telinga, gadis itu bersicepat. Percakapan orang-orang mengajarkannya kalau rasa takut kerap menyusup dalam perselisihan, perbedaan pemikiran, dan kekerasan yang tak jarang memakna korban jiwa. Oh tidak! Semua itu mengajarkannya kalau keberadaan rasa takutlah yang menyebabkan segala. Ketika salah satu pihak mengklaim memiliki rasa takut yang lebih sedikit ketimbang yang lain, penindasan dan kesemena-menaan pun terjadi.
Tapi itu percakapan orang-orang saja ….
Semua keributan dan peperangan itu sungguh membuatnya kesal. Para penjahat dengan berbagai julukan—yang kata orang-orang—menyeramkan dan bisa membuat nyali ciut, ia cari, temui, dan tantang. Perkelahian satu lawan satu semacam itu, entah bagaimana, cepat sekali kabarnya menyambangi telinga khalayak. Biasanya, pertunjukan mengalahkan rasa takut itu selalu berhasil membentuk lingkaran penonton yang terus memadat menjelang pertarungan, tapi tak lama ketika gong ditabuh, mereka menggerutu, “Jalan ke lokasi setengah hari, lawannya lumpuh dalam lima kedipan. Menjengkelkan!”
Oh, pengalaman menaklukkan rasa takut ternyata hanya memberinya pengetahuan, bukan perasaan. Oh, rasa takut, di mana sebenarnya kau berada? Gadis itu benar-benar membutuhkannya.
Hingga suatu hari, seperti menyadari sesuatu, gadis itu memutuskan muncul di keramaian Bandar Kelapa. Orang-orang yang selama ini hanya mendengar namanya pun bagai terperenyak. Oh, ternyata gadis itu seperti gadis kebanyakan. Rambutnya sebahu sebagaimana model rambut gadis Sunda Kelapa kebanyakan. Cara dan kecepatan berjalannya juga seperti gadis-gadis kota yang lain. Perawakannya juga biasa—tidak berotot atau menyeramkan sebagaimana laki-laki yang dikaruniai kekuatan lebih. Tingginya juga hanya sekitar lima kaki—meskipun ia kelihatan seperempat kaki lebih jangkung karena berat badannya yang kurang dari 55 kilogram. Oh, bagaimana bisa “gadis biasa” mampu mengalahkan raksasa, penjahat, pimpinan perampok, hingga makhluk mengerikan dari alam lain?
Di pasar yang digelar di selatan pelabuhan, gadis itu bermaksud membeli sekilo ikan. Akan tetapi si penjual tak bersedia dibayar. Pun dengan lapak sayur-mayur, makanan siap santap, pakaian, tas, sepatu, dan barang lain yang juga dijual. Saban ia mengarahkan telunjuk ke salah satu dagangan, refleks si penjual memberinya cuma-cuma.
“Kenapa kalian melakukan semua ini?!” Gadis itu akhirnya emosi. Matanya bulat telur.
Orang-orang yang sedari tadi memang memerhatikannya—sebagian melakukannya sembunyi-sembunyi—kini mendekati lingkaran orang-orang yang terbentuk dengan sendirinya.
“Kalau taka da yang bersuara, kalian akan menerima akibatnya!”
Lingkaran itu sempat riuh sebelum mendadak hening ketika gadis itu menyeret salah seorang ke tengah lingkaran.
“Nah, sekarang, katakan padaku, mengapa kau memberiku sekantong ikan cuma-cuma?”
“Kau telah menumpas segala bentuk kejahatan di Sunda Kelapa.” Wajah laki-laki yang tak lain penjual ikan itu memucat. “Kepada seseorang yang telah memberikan rasa aman, apa yang kami lakukan sungguh tak ada apa-apanya.”
“Lalu, kenapa orang yang ‘telah berbuat baik itu’ harus kalian asingkan?”
Laki-laki itu mengerenyitkan dahi. Orang-orang dalam lingkaran juga bersitanya dalam bisik-bisik yang menyerupai bunyi sekumpulan lebah yang sedang terbang.
“Dengan menghindariku, memerhatikanku diam-diam, atau tak mau menerima bayaran dariku, kalian pikir telah membuatku istimewa?”
Bunyi kerumunan itu makin berdengung. Wajah penjual ikan itu tertunduk. Tubuhnya gemetaran.
Oh, gadis itu sangat iri pada laki-laki di hadapannya. Ia tahu, penjual ikan itu sedang “menikmati” rasa takutnya.
“Ka—ka—kami …”
“Kami apa?” Gadis itu melunakkan suaranya. Ia tak rela melihat penjual ikan itu bermesraan dengan rasa takut.
“Ka—ka—kami ta—ta—ta—kut kalau …”
Oh … takut. Rasa itu ….
“… kami melakukan kesilapan. Kami juga takut ….”
Oh … takut. Di mana kau?!
“… kalau-kalau kau menghukum atau membunuh karena….”
“Cukup!”
Wajah penjual ikan itu benyai serta-merta. Lingkaran kerumunan membisu.
“Mulai sekarang, berhentilah melakukan semua itu!”
Hening.
“Maaf, duhai Gadis.” Seseorang dari kerumunan memberanikan diri bersuara tanpa keluar dari lingkaran. Gadis itu mencari-cari sumber suara.
“Berhenti menghindarimu atau berhenti memiliki rasa takut?” Kali ini suara yang lain yang menimpali.
Baru saja si gadis akan menimpali, suara yang lain terdengar.
“Kami akan mendengarkanmu, wahai Gadis, tapi …”
“ … Tapi mengapa tak sekalian kau menjadi pemimpin kami?”
“Meski ulama muda asal Samudera Pasai telah bergabung dengan Penguasa Caruban untuk membuat kota ini menjadi lebih baik.”
“Kami baru sadar kalau kau bukan hanya telah menumpas pencuri, penjahat, perampok, dan hantu-hantu!”
“Ya, kau juga telah membuat penguasa yang zalim diam-diam meninggalkan Sunda Kelapa!”
“Meski nama kota ini katanya akan diganti menjadi Jayakarta sebagai doa, kami tetap mengharapkanmu …”
Kali ini, banyak sekali penduduk yang sudah berani mengutarakan pendapatnya.
“Tidak!” jawab gadis itu tegas. “Aku tidak menginginkan kedudukan dan kekuasaan. Apalagi menggantikan Sunan Gunung Jati dan Fatahillah sebagai pimpinan pasukan! Aku hanya menginginkan rasa takut!”
Orang-orang tersentak. Mereka tak menyangka kalau gadis itu menginginkan sesuatu yang justru ingin mereka buang jauh-jauh.
“Kami mohon, duhai Gadis,” seseorang masih berani bersuara rupanya. “Jadilah pemimpin kami. Dan kami berjanji akan memburu dan mempersembahkan rasa takut itu kepadamu.”
Tiba-tiba suara sorakan membahana, sebelum kemudian gadis tiba-tiba mendapati dirinya telah mejadi seorang ratu.
Hari, pekan, dan bulan pun berlalu. Perlahan-lahan sang ratu bisa memetakan kehidupan rakyatnya. Sungguh menggembirakan ketika mendapati kenyataan bahwa Sunda Kelapa dihuni orang-orang dari beragam latar belakang budaya—Betawi, Jawa, Sunda, Cina, Batak, Minangkabau, Melayu, dan lain-lain—yang bisa hidup berdampingan. Mereka bergaul dan berdikari dengan penuh semangat dan bekerja keras.
Namun … perjalanannya ke berbagai tempat di Sunda Kelapa tak urung menerbitkan perasaan ganjil yang menggelisahkan. Penduduk miskin yang masih banyak, orang kaya yang semena-mena, pembangunan gedung dan fasilitas publik yang tidak sesuai perencanaan, penyalahgunaan wewenang para pejabat, politik uang dan pertemanan yang memangkas hak-hak yang lebih kompeten, hingga sekelompok orang yang kerap mencari-cari sekaligus membicarakan keburukan pemimpin di senyap malam … membuat jumlah malam-tanpa-tidurnya terus bertambah.
Tepat satu tahun kepemimpinannya, sang ratu mengumpulkan orang-orang kepercayaannya di istana. Mulanya ia ingin memarahi mereka atas pengawasan yang lemah terhadap ketidakadilan, tapi … malam sebelum pertemuan besar itu penduduk Sunda Kelapa justru dikejutkan oleh tangis paling sendu yang merayap ke segenap kota.
Keesokan harinya, istana heboh. Ratu mereka menghilang! Pejabat kerajaan dan para penduduk saling menyalahkan atas kegagalan mereka mempersembahkan rasa takut kepada pemimpin mereka.
Tak ada yang tahu, di malam terakhir itu, sang ratu tersedu-sedan di bawah rerimbunan pohutukawa di tepi Sungai Ciliwung. Perasaan khawatir akan keadaan rakyat menyerangnya bertubi-tubi. Oh, alangkah beratnya beban ini. Alangkah cemasnya membayangkan pertanggungjawaban kelak. Perasaan itu … ya, perasaan takut itu pun mendatanginya, memeluknya hingga ia tulang-tulangnya serasa mau patah, mencekiknya hingga kesulitan bernapas, mencambuknya hingga ia tersungkur tak terhitung kali.
Gadis itu merasa gagal memimpin, gagal mengayomi, gagal menjadi tumpuan harapan bagi keadilan. Bagaimana mungkin aku alpa atas kekalahan yang sudah ia dera sepanjang tahun?; Bagaimana aku gagal menyadari kalau, sejak menjadi raja, aku sudah terkapar berkali-kali dalam pertarungan tak imbang dengan rasa takut?(*)
Lubuklinggau, 2019
BENNY ARNAS lahir dan besar di Lubuklinggau.
Mendirikan dan bergiat di Bennyinstitute, lembaga kebudayaan di kampung halamannya.
Karya teranyarnya adalah buku puisi Hujan Turun dari Bawah (2018).