PERMINTAAN MAAF TANPA PERASAAN
Musim pesan-pesan tak berperasaan pun tiba. Hari lebaran adalah waktu yang riuh oleh lalu-lalang permintaan maaf, seperti apa dan bagaimana pun caranya. Yang paling populer tentu saja berkirim permintaan maaf lewat ponsel.
Ya, permintaan maaf. Permintaan maaf sahaja.
Permintaan maaf dibalas permintaan maaf.
Selintas lalu itu adalah hal yang lumrah. Tapi, tunggu dulu. Saling meminta maaf itu adalah hal yang lucu, kalau tidak ingin disebut aneh.
Kalau ada yang memberi, tentulah mesti ada yang menerima. Pun sebaliknya. Begitu juga untuk permintaan maaf. Kalau ada yang meminta maaf, mafhumnya adalah ada yang menerima maaf tersebut—barulah kemudian mengutarakan permintaan maaf yang sama. Kata populer yang biasa digunakan untuk menggambarkan permintaan maaf yang diterima tanpa merasa pongah adalah “sama-sama”. Bisa saja ia diikuti kalimat meminta maaf kembali, bisa pula tidak.
Interaksi maaf seperti di atas menunjukkan adanya intensitas, kesengajaan, dan perasaan dalam menjalin ukhuwah, menyambung yang terputus, merekatkan yang patah, atau mengumpulkan yang terserak.
Tapi, apa yang terjadi di musim lebaran sejak ponsel masif digunakan, sungguhlah berbeda.
Ketika saya mengirimkan permintaan maaf kepada seorang teman, ia malah membalas pesan saya dengan permintaan maaf juga. Saya seperti berinteraksi dengan operator permintaan maaf. Padahal, saya senantiasa mengirim pesan dengan rasa personal agar yang bersangkutan merasa bahwa saya benar-benar meminta maaf, saya melibatkan perasaan, saya berharap benar-benar dimaafkan. Tentu saja kalau si penerima ingin meminta maaf, pastilah saya terima. Tapi, halooooo, terima dulu permintaan maaf saya kaleeee?!
Hari raya, saya pikir, tak seharusnya menyulut kita menjelma robot dengan kerja membosankan: operator permintaan maaf. Hari raya adalah momentum berharga untuk membersihkan diri. Perasaan, ketulusan, dan sedikit usaha (saya biasanya mengetik nama orang yang bersangkutan dalam pesan permintaan maaf itu) adalah wujud penghargaan yang khas, yang mengalahkan sebuah pantun panjang yang disalin dari orang lain—yang dalam beberapa kasus bahkan lupa Anda hapus nama pengirim sebelumnya yang biasanya selalu mencantumkan keluarga setelah namanya.
Ya, operator permintaan maaf telah bertindak sangat lancang dan percaya diri untuk menganggap permintaan maafnya sebagai perwakilan atas permintaan maaf anggota keluarga yang lain. Apa iya ketika permintaan maaf itu dikirimkan oleh Fulan dan sekeluarga, apa iya keluarganya benar-benar menitipkan pesan itu, apa iya orang yang dikirimi pesan dengan anggota keluargamu saling mengenal, alih-alih punya salah dan dosa?
Ah, di Era Teknologi Mahacanggih ini, nasib permintaan maaf robotik-duplikatif itu setara dengan kedudukan humor, kutipan kata motivasi, atau gambar-gambar editan yang klise dan rawan hoaks yang bertebaran di media sosial. Tak ada lagi kesegaran karena tiap orang hanya membagikan humor orang lain yg juga dibagikan dari humor orang lain yg juga dibagikan dari humor orang lain dengan tema yang homogen. Isi kepala kita pun nyaris sama. Duplikatif. Robotik. Bahkan … plagiat! Tawa kita pun aneh. Jadi kayak kambing kedengarannya. Kata-kata motivasi kita pun aneh. Padahal Mario Teguh cuma satu—dan sudah tumbang juga. Permintaan maaf kita, jangan tanya, anehnya sudah kebal caci.
Tak heran kita lekas jemu. Hidup tanpa kebaruan perspektif. Manusia tanpa kualitas. Manusia kawanan. Keroyokan. Tergiring ke sana tergiring ke sini. Kosong melompong.
Sebagaimana perangai instan untuk terus mengada di era yang menyala-padahal-buta ini, permintaan maaf menjelma kelapa parut yang terus diperas dengan menambahkan air untuk mengeluarkan santan: kehilangan sarinya, tumpul kesaktiannya, hilang sudah maknanya.***
Lubuklinggau, 29 Juli 2020