Senja Bulan Desember (Tugas BWC #3)
Ada pepatah mengatakan kalau persahabat antara cewek dan cowok tidak akan murni hanya perasaan persahabatan, seiring dengan waktu pasti ada perasaan lainnya. Hanya saja satu sama lain enggan untuk menunjukan nya dengan satu alasan tidak ingin persahabatan nya rusak kerena perasaan yang tidak tau kapan munculnya dan tidak tau pula berakhir bahagia atau tidaknya. Begitu pikir ku, saat duduk memandangi langit berwarna jingga merona yang membuat ku seolah mempunyai teman meskipun aku tak pernah mendapatkan jawaban dari setiap cerita ku, tapi aku selalu merasa senang kalau sudah bercerita dengan senja. Kulihat jam sudah menunjukan jam enam, itu bertanda senja akan berganti malam yang membuat ku pun beranjak pulang kerumah dengan berjalan kaki. Aku hanya gadis rantauan yang menyukai senja oleh sebab itu aku sering sekali mendatangi taman didekat rumah mu walau hanya seorang diri dan hanya diam kearah senja. Aku bernama Fixsi Aulia Sandra orang disini sering memanggilku Fixsi, aku selalu lakukan aktivitas ku sebagai seorang mahasiswa, aku memang bukan mahasiswa yang terkenal bahkan mungkin seangkatan dengan ku pun tidak semua yang mengenalku apa lagi beda angkatan. Tapi aku tidak menghiraukan itu karena niat ku datang kekota Lubuklinggau untuk menyelesaikan kuliahku.
Sebantar lagi akan libur panjang, itu berarti aku akan berada ditempat ternyaman yang aku kenal yaitu dusunku, yang selalu aku rindu kan bukan hanya suasana rumah saja yang aku rindukan tapi juga akan bertemu dengan teman-teman ku yang lama tak aku jumpai. “mungkin akan bedah kali ini” gumamku, biasanya setiap kali aku balek dusun pasti ada sahabatku yang selalu menemaiku melihat senja ditepi sawah, tapi kini ia sama seperti ku berada di rantauan tepatnya ia sekarang di kota kembang Bandung. Aku ingat sekali tahun lalu, dimana saat sahabatku Juansah Anggara Putra masih duduk dibangku SMA, ia menjemputku di Stasiun Kotapadang. Aku dengan Juan memang bukan seangkatan tapi umur Juan lebih tua setahun dari pada aku, aku terbilang orang yang sekolah cepat sebab sekarang umurku baru tujuh belas tahun tapi aku sudah semester tiga, sedangakan Juan berumur delapan belas dan ia adik kelas ku.
“nanti sore aku jemput ya Lia” kata Juan dengan senyum dan memencengkan sebelah matanya. “iya Juan” jawabku dengan senyum juga. Juan langsung menancam gas untuk mengantar ku kerumah, dan hanya Juan yang memanggilku dengan sebutan Lia.
“kebiasaan Juan senang banget telat datang padahal udah janji gak akan telat” gumamku dengan kesal kepada Juan.
Terdengar bunyi klakson didepan rumah “tin..tin.. Lia.. Lia..” suara Juan seraya memanggilku.
“lama banget si sampe nya” kata ku dengan na da yang kesal.
Akhirnya kami berada dimarkas kami sering bersama, ia di puncak dengan hamparan sawah yang sangat luas. Setiap sore pasti kami selalu kesana dan bercerita apa saja dengan senja yang menjadi saksi. Hari ini aku yang bercerita tentang kehidupan ku di perantauan, dan Juan mendengarkan kan dengan penuh perhatian.
“gimana kamu ketemu sama jodoh gak disana” Juan membuka pertanyaan itu.
Spontan aku langsung menjawab” emang aku disana cari jodoh, kan aku kuliah” jawabku dengan polos.
Dengan menatapku ” maksud aku tu Lia, ada gak cowok yang dekat dengan kamu disana” jelas Juan.
Aku terdiam, bohong kalau aku bilang kalau aku tidak dekat dengan siapa siapa di Palembang, “ hmmm pada si” jawabku singkat.
Terlihat muka Juan yang memalas mendengar jawaban dari ku, aku meneruskan jawaban ku “ namanya Tio” Juan menjawab “ oo.. baguslah kalau gitu” dengan mengajak ku beranjak dari tempat duduk karena hari sudah hampir gelap.
Begitu pun dengan hari- hari berikutnya selama kau di dusun. Aku selalu menghabiskan sore dengan Juan. Dan sore ini adalah hari terakhir aku duduk menatap langit seja di dusunku. “Besok aku pulang ke Kota lagi” kataku dengan menundukan kepalah.
“ya aku di tinggal lagi” jawabnya cengengesan. Lalu ia berkata “gimana ya Lia kalau tahun depan kita tidak bisa ketempat ini lagi”
aku menjawab “ kenapa gak bisa, kan aku pulang ke dusun lagi”
Dengan membaringkan badan kerumput “ia kamu balek Lia, tapi kan tahun depan aku juga akan menjadi tahun anak rantauan juga dan aku belum tentu bisa balek” belum sempat aku menjawab, Juan seolah menyakinkan aku kalau kami akan datang ketempat ini dan melihat senja dan bercerita tentang kisah kita lagi, “ Lia setiap bulan desember kita kan melihat senja bersama” Kata juan dengan senyum.
“memang nya kamu akan merantau kemana juan” tanyaku dengan sedikit kecewa
“sepertinya aku akan merantau kekota Bandung karena disana ada kakak ku”. jawab Juan dengan begitu lembut.
Senja sore ini seolah ikut terbawah suasana haru kami dengan sawah padinya nya yang semakin merunduk, dan awan mulai menghitam bertanda akan segera turun hujan. Lagi lagi Juan menyakinkan aku kalau kami akan datang ketempat ini tahun depan dan senja bulan desember menjadi saksi. Aku tersadar dari lamunan ku tentang Juan tahun lalu, sebab merasakan ada yang jatuh dikulit ku, aku bukak kan mata ternyata gerimis.
Aku bertedu di bangunan yang hanya beratap tanpa dinding sedikit pun itu, meski masih terkena percikan air hujan. Tapi aku lebih sedih ketika senja sore ini harus beriringan dengan hujan. Bukan hanya aku bertedu tapi banyak orang lainnya berlari mencari tempat untuk bertedu. Dan akhirnya aku menerobos hujan dan pulang kerumah, sebab tidak ada tanda hujan akan reda. Andai Juan ada disini pasti aku sudah diocenya karena tadi aku keujanan, pikirku sambil mengeringkan rambutanku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering memikirkan Juan, memang si aku dengan Juan sudah lama tidak berkomunikasi seingat ku terakhir aku berkomunikasi saat bulan september dimana itu ia balek dusun tapi aku tidak sempat balek karena aku sibuk dengan kegiatan. Hal itu pun membuatku menyesal melewatkan satu waktu untuk bertemu dengan Juan, tak apa lah masi ada bulan desember ini, dimana sesuai janji kami akan datang ketempat markas kami. Dan itu harapan ku saat ini.
Kulihat tanggal yang sudah aku lingkari dengan penah merah, hitungannya tinggal seminggu lagi. dalam waktu seminggu ini pula, aku harus menyelesaikan semua tugas kuliah, kataku untuk menyemangi diri aku sendiri. Satu persatu tugas aku selesai dan hingga waktu yang sudah aku tunggu hampir tiba, sehari sebelum aku balek dusun aku menelpon Juan untuk memastikan kalau ia balek dusun juga.
“Hallo” suara Juan mengawali panggilan telponku.
“kamu jadi balek dusun juga kan” tanyaku penuh semangat.
“ jadi, nanti kalau sampai di dusun aku kabari kamu dan aku akan menjemput kamu untuk pergi kepuncak untyk melihat senja bersama lagi” jawab Juan dengan menegaskan kalau ini akan menepati janji.
“baguslah, kirain kamu lupa” jawabku dengan menyindir Juan yang sering lupa dengan janjinya.
“enak aja, kamu tu Lia yang sering lupa bukan aku” menjawaban dengan tak mau kala.
“iya aku yang lupa, aku tutup ya telponnya sampai jumpa di dusun Juan” jawabku tak ingin memperpanjang masalah, aku tau kalau juan tidak akan mau kalah omongan dengan aku.
Mentari hari ini tampak lebih panas dari pada sebelumnya, tapi tak menghalangiku untuk balek dusun, telah aku kemas semua barang yang ingin aku bawak begitu pun dengan rumah telah aku rapikan dulu biar aku balek lagi tidak terlalu susah aku membersihkannya. Dengan baju biru dan sepatu ket aku pergi kepasar untuk mencari taksi, kali ini aku berniat naik taksi bukan naik kereta api. Terlihat jajaran mobil dipinggir jalan yang mencari penumpang dengan melambaikan tangan mengisyaratkan kalau mobil nya belum penuh. Tetepi aku memilih mobil yang bertulis dua putri disimpang jalan itu, aku menghampiri sopirnya dan meletakan barangku di dalam mobilnya, alasan ku memilih bukan hanya mobil itu akan langsung mengantarku ke dusunku tapi juga aku dengan supir nya saudaraan. Selama di perjalanan aku memikiran sore nanti menikmati senja bersama juan, “ingat Tio” kata hati ku berkata tatapi enta apa rasa ku dengan Juan tak bisa aku pungkiri lagi walaupun aku sudah memiliki Tio yang menurutku baik tapi belum bisa membuat ku senyaman saat dengan Juan.
Kini kaki ku menampakan kembali di dusun ku, kulihat mak, aba, dan adikku menyambutku dengan bahagia. Dan mereka salah alasan ku balek dusun, aku membaringkan tubuh ku di kasur yang sudah beberapa bulan tak tepati, kulihat semua sisi dari kamarku dan masih sama dengan photo yang pajang didinding sebelah kanan kamarku. Dan disitu ada photo aku dengan Juan, aku mengambilnya dan membersihkan dari debu. Ku lihat ada pesan yang masuk ke HP ku, ternyata itu pesan dari Juan aku langsung membaca.
“maaf Lia kayaknya aku tidak bisa balek dusun soalnya aku hanay mendapatakan libur empat hari, sedangkan jarak bandung dengan dusun kita jago dan tak mungkin au sempat sampe kebandung lagi dalam waktu yang begitu singkat itu. Maaf Lia aku tidak bisa menepati janji kuuntuk menemani mu menikmati senja di puncak sore ini” kapan air mata ku jatuh di pipi aku tidak tau saat ku baca pesan itu, pada hala aku saat menanti hari ini dengan begitu banyak ingin ku ceritakan pada Juan tapi musna sudah harapan ku. aku menghapus airmata ku dan berkata aku akan tetap pergi kepuncak walaupun aku sendirian.
Ketika aku sudah sampai di puncak kupandangi sekeliling ku belum banyak yang berubah, pohon-pohon masih menjulak tinggi dengan susunan yang rapi, hamparan sawah masih sangat terawat oleh petani disini dan senjanya begitu indah untuk ku tempat berbagi cerita. Hanya satu yang berubah, aku berdiri seorang diri tepat didepan senja bulan desember dan teriak sekuat mungkin meluapkan semua kekesalanku pada Juan. Walaupun aku tau, itu semua bukan kehendaknya tapi kesal pada waktu yang belum juga berdamai pada jarak yang masih menjadi penghalang untuk aku dan Juan untuk bertemu. Tapi kini ku hanya bisa bekawan dengan senja.